KEMIRI SUNAN WOLOMEZE "HAK-HAK YANG HILANG DAN KEWAJIBAN YANG KABUR"


         
 Beberapa hari yang lalu, saat berada di kecamatan Wolomeze tepatnya di desa Wue, saya merasa kagum dengan hamparan pemandangan yang didominasi pepohonan rimbun.  Sebagai anak kampung yang tinggal di kampung,  tentu pemandangan hutan sering saya lihat tapi ini beda dengan rimbunan bambu yang mengelilingi kampung Bomari. Ternyata, pepohanan yang tumbuh di lahan dengan luas ratusan hektar dan menutupi hampir beberapa bukit yang ada namanya Kemiri Sunan.  Nama yang cantik dan buat penasaran.

Sayapun berjumpa dan ngobrol bersama beberapa pemuda asli Wue.  Beberapa diantaranya tidak begitu antusias dengan topik yang saya tawarkan.  Akhirnya ngobrolpun jadi fokus dengan pria hitam manis jebolan Arema Malang.  Namanya Aris Mite,  dia sungguh tertarik untuk menjelaskan kepada saya tentang Kemiri Sunan.

Aris mengisahkan sejak tahun 2012 lalu, beberapa tokoh masyarakat Poma, bersepakat dan menandatangani nota kesepakatan bersama perusahan pengelola perkebunan yaitu PT.  Bumi Ampo Infestama Sejahtera atau disingkat BIS untuk berinvestasi atau membuka perkebunan kemiri sunan di wilyah Poma, Desa Denatana Timur, tepat nya di tanah Ulayat suku Poma, bernama Muo dan Wolo Mata Leza, serta sebagian wilayah Nuka. Luas lahannya sebesar 162 Hektar.
  Adapun beberapa kesepakatan yang dihasilkan dan salah satunya yaitu PT BIS sebagai pengelolah perkebunan diperbolehkan untuk melakukan investasi atau mengelolah tanah Ulayat masyarakat adat Poma seluas 162 hektare tersebut untuk dijadikan perkebunan kemiri minyak selam 35 tahun (tahun 2012 sampai tahun 2047) terhitung sejak tanah tersebut di di kelolah, dengan catatan perusahan wajib membagi hasil perkebunan kepada masyarakat adat Poma, sebesar 20 % untuk perusahaan dan 80 % untuk masyarakat Poma, terhitung saat kemiri di panen dan di produksi.(saat ini sudah Kurang lebih 5 tahun produksi)

Pada tahun 2012 itu juga dilakukan pembukaan perkebunan oleh PT BIS dengan menggunakan sebagian besar tenaga buruh dari masyarakat Poma dan sekitarnya.
Sejak 2016 lalu,  kemiri sunan ini sudah mulai bisa dipanen dan perusahaan  sudah mulai melakukan pengolahan bahan mentah (Pabrik) kemiri minyak di lokasi persis bersebalahan dengan jembatan Wulabhara. Kalau dari arah Bajawa letaknya persis sebelah kiri sebelum masuk jembatan.
Sejak 2012 kesepakatan antara masyarakat dan PT BIS digaungkan, hingga saat ini belum ada realisasi sama sekali,  dan bahkan menurut Aris,  PT BIS  sebagai pengelola seolah acuh dan diam seribu bahasa, menanggapi berbagai pertemuan yang dilaksanakan di Desa Denatana Timur, pada hal sebagian besar pertemuan tersebut masyarakat dan pemerintah Desa membicarakan dan mengaungkan  tentang nota kesepakatan pada awal sebelum lahan tersebut dibuka. 
          Disamping itu, Aris menyampaikan bahwa hingga saat ini dirinya merasa miris dengan ketidakadilan yang terjadi karena baginya,  kondisi yang terjadi  mirip dengan pepatah " Menjadi Babu diatas tanah sendiri".
Aris merasa beberapa karyawan yang berasal dari masyarakat Poma yang bekerja  di perusahan tersebut hanya di "eksploitasi" tenaga mereka sebagai buruh harian lepas sejak tanah tersebut di kelolah sampai sekarang. Peran mereka kecil dan hanya dibayar dengan upah kerja harian tanpa memperhatikan kesejahteraan, kesehatan dan kebutuhan kerja mereka.
Disisi lain Perusahan boleh memecat buruh kapan pun perusahan mau.
 " Saya sebagai Putra Poma, sangat prihatin melihat keadaan ini, sebab tanah itu tanah kami dan para pekerja itu yang sebagian adalah buruh harian lepas itu adalah keluarga dan saudara-saudara saya"katanya.
Aris berharap agar kedepannya nanti ada pihak-pihak yang tergerak hati untuk memediasi terhadap kondisi yang terjadi ini.
         
Aris hanya ingin agar ada keterbukaan antara PT BIS dan masyarakat yang selama ini mempertanyakan dan menuntut kewajiban yakni : 
1. Perusahan Wajib menunjukan dokumen analisis dampak lingkungan atas tanah yang di kelolah menjadi perusahaan kemiri tersebut yang kian hari semakin tandus dan kurus, juga letak tempat pengolahan minyak mentah yang berada persis bersebelahan dengan Daerah Aliran Sungai yang mengairi sawah milik penduduk.
2. Perusahan Wajib melihat kembali dan melaksanakan kesepakatan pembagian hasil 20% dan 80% tersebut.
3. Perusahan wajib memperhatikan, melindungi karyawan baik kesejahteraan dan kesehatannya, sesuai aturan undang-undang ketenagakerjaan.
4.  Perusahan wajib menjadikan para buruh harian lepas sebagi karyawan tetap, dengan memperhatikan peraturan undang-undang ketenagakerjaan.
5. Perusahan wajib mengangkat karyawan atau tenaga kerja dari masyarakat pemilik tanah. Dalam hal ini masyarakat Poma.
6. Perusahan wajib mengeluarkan atau menunjukan dokumen MoU atau nota kesepakatan bersama dan di berikan kepada pemerintah Desa Denatana Timur atau di hadapan Masyarakat Poma.
7. Perusahan wajib menunjukan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan hak Guna usaha, SITU, SIUP dll.
8.   Perusahaan Wajib menunjukan legalitas perusahan kepada pemerintah Desa dan pemerintah Kabupaten Ngada.
9. Perusahan wajib menyesuaikan upah tenaga kerja sesuai dengan UMR.

Permintaan tersebut semata - mata karena dirinya sebagai masyarakat Suku Poma sekaligus pemilik Lahan.

Semula,  rasa bangga dengan hamparan Kemiri Sunan yang ada dihadapan saya berubah menjadi ketakutan, saya takut jangan sampai di kampung saya akan terjadi hal semacam ini.  Saya menulis ini hanya sebagai bahan refleksi bagi diri saya sendiri. Semua yang dipandang indah belum tentu indah juga dalam perasaan.  Berharap masalah ini cepat selesai dan semua pihak tidak ada yang dirugikan.

Salam hangat dari Langa.

Mertin Lusi

RU'U Penyakit Penuh Misteri, Benarkah?

Beberapa minggu terakhir ini,  saya mengalami kegelisahan karena belum menemukan arti yang sederhana untuk bisa dijelaskan sebuah pertanyaan dari beberapa rekan saya dari luar kabupaten. Pertanyaannya sangat sederhana tentang mengapa dan bagaimana dengan Ru'u. Barangkali ada yang secara tidak sengaja membaca tulisan ini,  dengan rendah hati bisa menambahkan catatan tentang hal ini.

Namun,  saya berusaha dengan banyak keterbatasan untuk bisa membuat penjelasan  atas sebuah kejadian atau fenomena Ru'u ini.  Nah peristiwa yang terjadi di sekitar kita ini, tentunya tidak terjadi begitu saja bukan? Ada sebab akibat disini, dan sebuah proses di dalamnya. Kita bisa mengamati dan merasakan berbagai persitiwa tersebut dengan mudah. Bahkan kita juga bisa mempelajari polanya dengan menggunakan aspek ”mengapa” dan “bagaimana” peristiwa tersebut bisa terjadi.

Untuk hal-hal yang berkaitan dengan alam misalnya, sebagian dari kita pasti tidak asing lagi dengan sejumlah fenomena atau peristiwa seperti tsunami, banjir, gunung meletus, tanah longsor, dan sebagainya. Sama halnya dengan Ru'u.  Ru'u bagi saya merupakan sebuah fenomena alam.  Pertanyaannya sekarang, mengapa dan bagaimana semua itu bisa terjadi?

Bicara tentang Ru'u, bagi orang Bajawa kabupaten Ngada, tentu akan ada tanggapan beragam.

"Siapa yang pernah kena Ru'u?

Ru'u apa yang kamu rasakan?

Siapa pemilik Ru'u?

Bagaimana kamu tau pemiliki Ru'u tersebut?

Berapa lama kamu merasakannya? Mengapa bisa kena Ru'u? Bagaimana cara menghilangkan Ru'u tersebut?

1. Ru'u merupakan sebuah penyakit atau perubahan perilaku.

Ru'u itu merupakan sebuah penyakit yang dialami oleh seseorang. Penyakit tersebut sama seperti penyakit yang divonis oleh dokter namun pengobatannya tidak menggunakan obat medis. Selain sebuah Penyakit,  Ru'u juga merupakan perubahan perilaku seseorang yang tidak seperti biasanya.

Bila seseorang disekitarmu yang mengalami sakit seperti Sakit Kepala, Perut, ataupun organ tubuh lainnya dan sudah berulangkali berobat ke klinik ataupun rumah sakit namun tak kunjung sembuh, bisa dipastikan orang tersebut terkena Ru'u.

Bila kamu juga menjumpai seseorang yang mengalami perubahan perilaku,misalnya bertingkah seperti monyet,  berlari keliling kebun,  loncat - loncat dan lainnya,  bisa dipastikan orang tersebut terkena Ru'u.

 Dan kamu bisa mencari orang - orang yang di tunjuk atau dipercaya mampu memberi petunjuk siapa pemilik Ru'u tersebut. Orang - orang yang di percaya tersebut memiliki kharisma tersendiri dan diyakini oleh seluruh warga kampung.

2. Ru'u punya pemilik.

Ru'u bukanlah sebuah benda yang bisa disentuh,dilihat, ataupun di dengar. Ru'u hanya akan ada bila ada yang meyakini bahwa dia ada.

Dan ini sangat berkaitan erat dengan sebuah peradaban. Bila peradaban disuatu tempat masih sangat kental, maka Ru'u akan tinggal disitu. Dia ada secara alamiah. Dan terjadi seperti sebuah misteri.

Ru'u dengan berbagai jenisnya ada pula pemiliknya masing-masing.  Setiap kampung yang ada di Bajawa pasti ada banyak orang yang memiliki Ru'u.  Bahkan pemilik Ru'u sendiri tidak tahu ataupun tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemilik dari Ru'u tersebut.  Biasanya pemilik Ru'u adalah laki laki/perempuan yang selalu makan sirih pinang. Tidak mengenal usia.

Bila dirimu sering bergaul dengan pemilik Ru'u dan selalu berbagi ataupun  makan sirih pinang (ngeu) bersama,maka bisa dipastikan dirimu akan memiliki Ru'u dengan jenis yang sama pula. Ada pula cerita lain bahwa ada orang yang mengaku memiliki Ru'u karena mendapat petunjuk melalui mimpi.  Mimpi bertemu leluhur yang datang berbagi sirih pinang ataupun lainnya. Setelah itu,  dirinya memiliki Ru'u.

Mengapa dikatakan pemilik Ru'u?  Laki-laki ataupun perempuan dikatakan memiliki Ru'u apabila dia sudah pernah mengobati orang yang terkena penyakit ataupun perubahan perilaku tersebut.

3. Bagaimana cara menyembuhkan Ru'u.

Seseorang yang mengalami penyakit atau perubahan perilaku hanya perlu datang kepada pemilik Ru'u sesuai petunjuk dari orang-orang sekitar kampung. Dia akan disembuhkan dengan cara disembur menggunakan sirih pinang.  Pemilik sirih pinang akan makan sirih yang dicampur pinang dan kapur, air liurnya yang sudah bercampur dengan sirih pinang tersebut akan dioleskan pada bagian organ tubuh yang sakit ataupun pada tempat tertentu sesuai kebiasaannya dalam pengobatan. Pengobatanpun hanya bisa dilakukan ada pagi hari,  sore ataupun malam. Biasanya hanya perlu maksimal 3 kali pengobatan pasti akan sembuh total.

4. Mengapa bisa terkena Ru'u?

Ada banyak hal yang mempengaruhi seseorang terkena Ru'u. Misalkan disuatu waktu, kita bertemu dengan orang /pemilik ru'u sedang aktivitas dan bahkan sampai berkeringat maka siap siap dirimu akan terkena ru'u.  Atau juga dirimu say hallo dengan mereka, maka akan terkena ru'u.  Bisa juga terbawa mimpi bertemu dengan mereka,maka akan terkena ru'u.  Bahkan tidak berkontak sama sekalipun bisa terkena ru'u.
Nah, ini yang otomatis terkena ru'u itu bila mencuri barang miliki orang tersebut.


Ru'u ini bisa terjadi karena ada hubungan alam bawah sadar dengan pemilik ru'u.
Tapi bila pemilik Ru'u  menginginkan seseorang terkena ru'u maka impian itu terwujud.
Sulit.

Nah,barangkali ada kisahmu yang pernah mengalami jal serupa, yuk kita share disini...


Salam hangat...





Situs Watu Ata di Wolowio - Bajawa Flores Indonesia

Sejak beberapa tahun terakhir ini, bersama temans yang terkumpul secara alamiah,  kami seakan terlempar jauh ke sebuah pengalaman hidup yang memaksa untuk menyukai yang tak disukai. 
Menyusuri alam liar,  mengenal bau kehidupan alam kemudian menarik kami untuk pulang,  pulang ke rindu kampung halaman.

Hampir setiap waktu luang, kami gunakan untuk menjejakan setiap jengkal yang pernah ada cerita sebelumnya.  Cerita legenda, cerita mistik bahkan cerita barter antar penduduk dimasa silam yang kemudian perlahan membuat kami terus terpacu untuk mengenal,  mendengar, merasakan dan kembali berbagi tentang kisah itu.


 Minggu 21 Juni 2020, kami ber sembilan menggunakan sepeda motor menuju ke Desa Wawowae - kecamatan Bajawa.
Tepatnya di kampung Wolowio,  kae Fridus Sua bersama bapak dan mama sudah menanti. Kami akan diantar ka Fridus untuk jelajah beberapa lokasi yang sudah melegenda.
Rumahnya sebelah kiri paling pertama masuk kampung. Di sisi kanan rumahnya paling luar,  sebuah tali dari kulit kerbau dengan panjang sekitar 10 meter, terlilit bentuk lingkaran menggantung berderet bersama rahang babi, persis di bagian atas tengkorak kepala Kerbau yang masih lengkap dengan tanduknya. 
Aroma kopi disamping rumah yang sudah siap panen menjadi warna khas tersendiri untuk warga desa Wawwowae yang berpendudukan 3.000an orang ini.  Yah,  daerah dengan ketinggian 1.200 mdpl ini menjadi penyumbang terbesar selain Golewa Barat dalam produk pertanian khususnya Kopi.  Kopi disini harganya sudah cukup seimbang dengan keringat para petani. Ada beberapa Unit Pengolahan Hasil Kopi berdiri di desa ini dan tentunya petani kopi diwajibkan menjadi anggota.  Semua petani disini merawat kopi secara alamiah tanpa menggunakan zat kimia karena akan merusak cita rasa kopi.  Pantasan,  suguhan kopi dari keluarga ka Fridus sungguh beda citarasanya, rasa ingin tambah 😃.

Setelah ngobrol dan menghabiskan segelas kopi,  kami segera meluncur ke arah perkebunan kopi milik warga. Semakin menanjak, semakin indah kebun kopi disana.  Rapih,  bersih dan memanjakan mata karena buahnya sudah mulai merah.
Diujung kebun kopi,  setapak jalan sudah tidak memungkinkan untuk dilalui roda dua. Kami memutuskan untuk memarkir motor disitu dan melanjutkan dengan berjalan kaki.

Sekitar sepuluh menit perjalanan menanjak ke arah utara,  hamparan kebun kopi sudah jauh dibelakang kami,  di hadapan kami suguhan patahan bukit "Lobo Butu" tidak kalah menarik dengan gambar destinasi wisata yang tengah populer di lereng gunung Inerie.

Uniknya, sudah hampir empat bulan ini masyarakat desa Wawowae secara swadaya mengerjakan jalan secara manual untuk menghubungkan Wawowae dan Ghole.  Mereka bekerja setiap hari sabtu menggunakan peralatan seadanya. Yang bisa kita lihat dari kejauhan ini mirip dengan tembok besar di Cina. Serius.

Usai "water break" dan mendengarkan penjelasan dari ka Fridus,  kami kemudian melanjutkan perjalanan ke arah selatan.  Jalanan setapak kian menanjak.  Dua ekor anjing pemburu bernama Legend dan White ini terus menemani perjalanan kami, satunya di depan dan yang lainnya paling belakang seakan sedang mengawal tour ini dalam situasi aman lancar.
Jalan setapak ini sudah hampir sepenuhnya ditumbuhi rumput liar, karena sudah beberapa bulan terakhir ini jarang dilalui.  Fridus mengaku biasanya tamu sering berkunjung ke tempat ini namun karena pandemi covid 19 situasi sudah berubah dan dirinya tidak lagi datang ke tempat ini.
Di depan kami sudah mulai nampak bebatuan dengan ukuran sangat besar,  makin ke selatan jalur semakin ekstrim. Jurang selalu ada disebelah Kiri dan kananmu.

Persis di pertengahan bukit,  sebuah batu dengan tinggi sekitar 3 meter dengan lebar 2 meter ini berdiri kokoh  di tepi tebing.  Bagian atasnya tersusun sebuah batu yang ukurannya lebih kecil.
Batu inilah yang menjadi tujuan kedatangan kami. Kami beristirahat sejenak disitu.
Namanya " Watu Ata".
Dalam bahasa setempat, 
Watu : Batu
Ata : Orang / manusia.
Menurut kepercayaan setempat Watu Ata merupakan Manusia yang berubah menjadi Batu di masa silam. Dan batu tersebut mengisahkan tentang seorang ayah bersama anaknya.
Fridus yang juga merupakan sekretaris HPI Ngada ini mengisahkan tentang Watu Ata yang diperolehnya dari Orang tua secara turun temurun.
Konon,  penduduk yang mendiami kampung Wolowio dan sekitarnya ini semula menetap di tepi pantai di selatan kabupaten Ngada.  Aimere dan Waelengga. Namun karena adanya bencana alam ( Watu Boto Tana Lala) yang terjadi, mereka berlari menyelamatkan diri ke arah timur. Entah karena lelah bercampur panik, sambil berlari  seorang lelaki bersama anaknya yang duduk di pundaknya kemudian menoleh kebelakang untuk memastikan bahwa situasi baik - baik saja. Namun ternyata secara spontan keduanya berubah menjadi batu. Menurut kepercayaan jika sedang terjadi bencana dan kita sedang berlari menyelamatkan diri, hendaknya tidak boleh melihat kebelakang karena akan berubah menjadi batu.
 Secara pribadi,  saya sungguh yakin bila mendengar dari cerita ini,  tentu yang menjadi batu tidak hanya bapak dan anak tersebut namun ada banyak orang yang lainnya.  Di sekitar batu " Watu Ata" tersebut ada ratusan batu lainnya yang tidak kalah besar dan saya menduga,  ini juga merupakan orang yang mengalami hal yang sama pada masa itu,  namun belum ada penelitian atau cerita lainnya yang mengisahkan tentang hal ini.
Hingga saat ini Watu Ata atau Batu ayah dan anak tersebut belum diketahui siapa nama mereka sebenarnya.  Atau lebih tepatnya dari keturunan suku atau Woe ( Clan)  yang mana.  Sebab tidak jauh dari lokasi tersebut,  persis di tengah kebun warga ada sebuah batu juga  merupakan manusia yang berubah menjadi batu. Konon katanya itu merupakan istri dari watu ata ini.
Pernah ada satu cerita yang membuat semua warga kampung takut. Pada tahun 1992 terjadi gempa di Flores yang cukup banyak menelan korban jiwa ini,  rupanya salah satu batu di Watu Ata yang dipercaya sebagai anak ini terguling jauh ke kebun warga.  Semua warga mengetahui kejadian ini. Namun, entah bagaimana caranya beberapa hari kemudian batu tersebut sudah berada kembali di tenpatnya. Semua warga menjadi panik dan takut. Di pihak lainnya, ada warga yang mengaku menyaksikan batu tersebut diangkat oleh segumpal awan dan meletakkan kembali di tempatnya atau di pundak ayahnya.

Sebelum terjadinya bencana alam yang kemudian berimbas pada manusia berubah menjadi batu ini, ternyata kisahnya hampir mirip dengan kisah dari beberapa tempat yang lainnya. 
Bencana alam ini berawal ketika semua warga kampung pada masa itu menertawakan tentang kisah dua orang ibu menyusui yang menjadikan seekor anjing sebagai media untuk transportasi arang api. Pada masa itu, ibu menyusui harus tetap tinggal di dalam rumah. Di kampung tersebut hanya tinggal dua orang ibu menyusui sedangkan warga lainnya sedang di ladang. Karena sangat membutuhkan api untuk memasak,  terpaksa salah seorang ibu menyusui menggunakan seekor anjing sebagai perantara untuk mengantar bara api yang diikatkan pada ekornya untuk ibu menyusui yang lainnya. Kisah ini kemudian menjadi sebuah lelucon dan ditertawakan bersama keesokan harinya saat warga sedang berkumpul di halaman rumah. Pada masa itu,  alam sangat sensitif dengan perbuatan tidak menyenangkan dari manusia. Seketika itu juga, alam menjadi murka dan terjadilah bencana alam. Semua orang berusaha menyelamatkan diri. Dan terjadilah kisah " Watu Ata" yang kami datangi ini.
Kisah ini menjadi sebuah misteri dan harus digali untuk diketahui oleh semua orang.

Usai mendengar kisah tersebut, kami bergerak lagi kearah selatan melewati batu-batuan yang ukurannya sangat besar pula. Karena letaknya di atas ketinggian sedang di sebelah kiri dan kanan adalah jurang, ada banyak lebah yang terbang mengintari kami. Alhasil beberapa diantara kami tersengat lebah dan beruntung pertolongan pertama segera dilewati dan perjalanan kembali lancar.
Semakin ke selatan semakin menurun,  Patung Bunda Maria Ratu Semesta Alam nampak jelas dikejauhan.  Kami berada persis di bukit yang bersebelahan dengan bukit ziarah rohani ini. Laut lepas nampak jelas di bagian barat. Jejak kami babi hutan tampak dimana mana,  bahkan tempat tempat bernaungnya hewan liar inipun kami lewati.  Tempat atau semacam halaman kecil ini dibuat secara alami oleh babi hutan yang kemudian oleh ka Fridus dan teman teman menjadikan sebagai area camping.
Lokasi ini namanya Wonga Wea.
Wonga : kembang
Wea : Emas.
Di lokasi ini tumbuh berbagai jenis tanaman hias. Bahkan ada sebuah pohon menjadi tempat hidupnya habitat anggrek dengan beragam warna.
Sepanjang perjalanan kurang lebih 3 jam ini,  ada banyak pengetahuan baru yang kami pelajari.  Setiap berjumpa jenis tanaman,  mendengar suara burung bahkan jejak kaki hewan liar,  disitu kami larut dalam diskusi dan membedahnya satu persatu.
Oh ia,  sebelum lupa,  Desa Wawowae ini sudah masuk dalam desa ramah burung sejak tahun 2018 lalu. Ini terjadi atas usaha HPI Ngada yang terus mendorong pemerintah desa untuk menjaga alam dan hutan sebagai tempat hidupnya burung - burung. Ternyata warga masyarakatnya sangat mendukung dan hingga hari ini spesies burung menri tambah banyak, warganya pun tak pernah lagi berburu burung. 
Berikut bunga - bunga dan tanaman yang kami jumpai sepanjang perjalanan maupun yang ada di hutan.
Anggrek tanah ungu (Spathoglottis plicata)
Anggrek tanah putih (Arundina graminifolia)
Rambusa (Passiflora foetida Linne)
Cantigi (Vaccinium varingiaefolium)
Sintrong (Crassocephalum crepidioides)
Senduduk (Melastoma)
Beri hutan (Mauritius raspberry/Rubus rosifolius)
Kirinyuh bunga putih(Chromolaena odorata)
Kirinyuh bunga kuning (Tithonia diversifolia)
Pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis)
Ceplukan (Physalis angulata)
Gandrapura/tanaman balsem (Polygala paniculata)

Selain itu juga ada banyak jenis burung yang sempat terbang diatas kami ataupun bernyanyi mengiringi langkah kami.

Burung srigunting (Ise Si'e): Wallacean drongo, Burung madu sriganti (Jeghi): Olive-backed sunbird, Burung cekakak tunggir putih (Boro Toro) White-rumped Kingfisher, Burung Tesia Timor (Buku Bheto): Russet-capped Tesia, Burung Seriwang Asia (Lawi  Luja) Paradise flycatcher, Burung Kancilan Flores (Lio Ngala) Bare-throated Whistler, Burung Punglor Chestnut-backed Thrush, Burung Cucak Timor (aku koa) Helmeted friarbird, Burung Caladi tilik (Detu) Sunda pygmy woodpecker, Burung Wiwik cuncuing Rusty-breasted Cuckoo, Burung Kepodang Black-naped Oriole, Burung Delimukan Zamrud  Emerald dove, Burung Kehicap ranting Black-naped Monarch, Burung Kirik-kirik Australia  Rainbow bee-eater, Burung Kancilan Emas: Australian golden whistler, Burung Bubut alang2 (Toto): Lesser coucal,
Ayam Hutan (Kata): Green Junglefowl.

Disini ada juga Babi hutan (hui): wild boar (Sus scrofa), Kera ekor panjang (Solo/kodhe): Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis), Tikus besar (Betu): Flores giant rat (Papagomys armandvillei), Landak (Kutu): Sunda porcupine (Hystrix javanica), Musang Luwak: Asian palm civet.

Ada juga ular dengan berbagai jenis,  kadal hutan,rusa, dan kupu-kupu dengan berbagai jenis,ukuran dan warna yang belum diketahui secara pasti.

Perjalanan ke "Watu Ata " ini meskipun tidak sampai sehari penuh,  tapi berasa seperti mempelajari IPA di bangku SMP selama 3 tahun. Benar - benar luar biasa gurunya.  Sungguh tidak sia - sia, apalagi ketika kamibtiba dirumah,  bapak Yohanes dan mama Petronela bersama keluarga menyambut kami dengan ramah dan sukacita seperti anak yang hilang.  Perjamuan makan sorenya menjadi sempurna dengan "Tua Bhara" atau Wae Susu Dewa 😃😃 air suci.


Tima tii woso Mori Watu Tana.
Tima tii woso Untuk semua orang Wolowio yang sudah menjaga alam Watu Ata dengan baik...

Salam Hangat...
Mertin Lusi

Sepa Api Doko Ritual Tendang Bara Api di Langa

Malam ini ( Sabtu,  20 Juni 2020) cukup heboh dikalangan pemuda Langa.  Sejak jam enam sore,mereka saling kontak untuk berangkat ke kampung Langagedha, desa Langagedha kecamatan Bajawa, Flores Indonesia.

                      Foto : Fan Nua


Saya salah satu yang turut heboh namun dengan berat hati untuk tidak masuk dalam tim mereka. Karena saya Perempuan.  Perempuan tidak diperbolehkan untuk menyaksikan secara langsung ritual malam ini.

Malam ini,  sama dengan malam setiap tahun yang lalu di bulan Juni.  Dan akan terus sama di bulan Juni yang akan datang.

"Sepa Api Doko" merupakan ritual wajib yang dilakukan malam ini.  Ritual ini adalah salah satu bagian dari acara Ngede Doko.
Ngede Doko itu sendiri juga merupakan bagian dari tahap-tahap menuju ritual Reba.
Tentunya publik sangat tau dengan yang namanya "Reba Langa", karena kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih seminggu di setiap bulan Januari ini sangat menghebohkan jagad raya 😃.



Kembali lagi ke Sepa Api Doko.
Sepa : Tendang
Api : Api
Doko : Nama jenis hama yang kehadirannya sangat merusak kelangsungan hidup dari tanaman Ubi ( Uwi).

Ritual Sepa Api Doko berarti ritual untuk mematikan Doko dengan cara Api di tendang layaknya menendang Bola.
Di zaman para leluhur,  Ubi/ Uwi merupakan makanan pokok. Jadi untuk menjaga ubi tetap dalam keadaan baik hingga masa panen harus dilakukan ritual Sepa Api Doko untuk menghalau hama tersebut.

Sebelumnya,  acara ini diawali dengan Pase Sala Doko atau menggantikan bilah bambu yang telah di anyam setinggi kurang lebih 4 meter yang menurut penuturan warga bahwa anyaman menyerupai pagar tersebut disimbolkan sebagai pagar.
Pagar setinggi 4 meter tersebut berada di kampung Langagedha,tepatnya di sebelah barat pintu masuk menuju kampung Bo Kolo.
Setiap tahun diganti dengan bilah yang baru. Sedangkan bilah atau pagar yang lama tersebut dibongkar dan dibakar menjadi arang di tengah kampung pada malam harinya, kemudian arang tersebut di tendang oleh para lelaki dalam kampung itu.
Ini seperti bermain api,  tapi uniknya tak satupun yang terbakar.
Sebelum api di tendang,  para lelaki yang akan menendang api akan mengawali dengan pantun / Soka Doko yang saling bersahutan sambil mengelilingi bara api.

Begini kira - kira pantun dalam soka Doko :
Doko toro zeta sobo... 
 oo nio tu'u ...
o reta tolo nio tu'u reta tolo..
ooo nio tu'u....
 Ooo beru e raba o
 o raga jawa jawa..
 beru raga raga jawa..
miu bani gho bhai..
bani ai bhai ai  jao tii miu topo..
tii topo  papa boro...
 Tii miu gala tii gala papa  tara...
Tii miu bedi tii bedi papa zengi...
 Tii miu sau tii sau papa zawu...
Meze bara zeta mala....
Tudhi rumi gete lua doko...
sai pau telu..
rei rei... .
Kau me doko doko loe soghe meze..




Setelah mengelilingi bara api,  para lelaki bisa menendang api sebagai tanda siap melawan atau memusnahkan Doko atau hama yang merusak tanaman ubi ini.



Usai kumpulan bara api ditendang,  tetua adat yang dipercaya akan melakukan acara Kela Nio/ Belah Kelapa di ambil airnya dan dioleskan ke setiap kaki para pria yang terlibat dalam ritual ini.
Konon,  dalam ritual ini dipercaya bila ada kaki yang melepuh berarti sebuah pertanda bahwa pria tersebut memiliki masalah pribadi yang masih disimpannya sendiri.

Semua tahapan sejak Pase Sala ini dipimpin oleh kepo wesu dari Sao Mai Mole dan Suri Zia dari Woe Langa Ebu Wuda.
Ritual ini kemudian dilanjutkan kembali keesokan harinya yakni tahapan Ngede Doko.
Sebanyak dua lelaki atau lebih dari Kepo Wesu mengenakan pakaian Adat Sapu Lue dan Boku akan mengelilingi seluruh kampung di Langa untuk Ngede Doko.
Semua rumah/Sao yang mereka datangi wajib memberikan Uwi / Ubi. Dan apabila tidak memiliki Ubi bisa digantikan dengan Sirih Pinang.
Seluruh masyarakat Langa percaya bila tidak memberikan Uwi atau Sirih pinang, pertanda bahwa hasil panenan  lebih khusus Uwi akan buruk di musim ini.
Unik dari ritual ini adalah Perempuan dilarang terlibat sejak acara tendang api.  Padahal menarik sekali untuk saya sebagai perempuan.  Tapi saya sebagai Isi Langa wajib dan dengan tulus hati menaati larangan ini.

Para leluhur kami percaya dan kami pun percaya kalau Perempuan yang terlibat menyaksikan ritual Sepa Api Doko ini akan mendapatkan musibah. Musibahnya adalah akan melahirkan anak kelak yang mirip seperti Doko / Hama tersebut.
Ini sungguh menarik sekaligus menakutkan.
Tapi inilah kebanggaan sebagai Isi Langa.
Demikian kira kira cerita yang saya kumpulkan malam ini.
Mohon maaf bila ada kekeliruan dari tahapan diatas, saya sangat mengharapkan masukan untuk perbaikan.
Sungguh,  saya hanya ingin cerita ini di ketahui banyak orang dan lebih khusus generasi muda Langa.

Tima tii woso,  salam hangat
Mertin Lusi.



Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua

  Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...