Di dunia yang terus bergerak cepat, tempat kembali bukan selalu soal rumah dengan atap dan dinding. Kadang, tempat kembali itu adalah sekelompok orang—yang meski tak sedarah, justru terasa lebih dekat dari keluarga. Mereka hadir bukan karena kewajiban, tapi karena panggilan jiwa yang sama: melayani.
Kami tidak pernah benar-benar duduk dan berkata, “Mari kita bentuk sebuah tim.” Kami hanya terus datang ketika ada kebutuhan, terus hadir saat ada yang harus dilakukan, dan tanpa sadar—kami menjadi satu. Sebuah tim yang terbentuk bukan karena struktur, bukan karena gaji, bukan karena ambisi. Tapi karena hati. Karena rasa yang tak bisa dijelaskan selain “kalau tidak bersama mereka, ada yang kurang.”
Baru-baru ini ( 11-14/09/2025), kami mendampingi para siswa SMAK St. Agustinus Langa dalam latihan kepemimpinan tingkat dasar di Kebun Raya Wolobobo. Tempat itu dingin dan sunyi, namun penuh tawa, cerita, dan semangat muda yang membara. Kami hadir bukan sebagai orang hebat, tapi sebagai pendamping yang ingin berbagi—dengan segala kelebihan dan kekurangan kami masing-masing.
Tak semua dari kami bisa hadir. Sebagian harus menyelesaikan tugas lain yang tak bisa ditinggal. Tapi begitulah hidup—dan begitulah tim ini. Tak pernah utuh sepenuhnya, tapi selalu cukup. Yang hadir saling mengisi, yang absen tetap ada dalam doa dan cerita.
Masing-masing dari kami punya warna sendiri. Dan warna itu tak selalu sempurna. Bahkan, mungkin terlalu banyak kekurangan. Tapi bukankah justru di situlah letak keindahannya.
Saya sadar, tidak ada di antara kami yang sempurna. Tapi ketika kami berjalan bersama, yang satu menutup celah yang lain. Yang satu memberi semangat saat yang lain hampir tumbang. Yang satu bicara, saat yang lain memilih mendengar.
Dan mungkin karena itulah, meski tak ada uang, meski sering mengorbankan waktu dan tenaga, kami selalu kembali. Kembali ke tim ini. Ke tempat di mana kami tak diukur dari jabatan atau pencapaian, tapi dari ketulusan untuk hadir dan memberi.
Tim ini adalah rumah kedua. Atau mungkin, rumah yang sebenarnya—tempat di mana kami merasa diterima apa adanya. Tempat untuk pulang, setiap kali hati merasa lelah. Tempat di mana tidak ada yang dituntut sempurna, tapi semua diajak untuk terus bertumbuh.
Melayani bukan beban bagi kami. Ini adalah cara kami menemukan makna. Dan bersama merekalah, makna itu menjadi nyata.
Terimakasih Ayu
Terimakasih Cen
Terimakasih Iwan
Terimakasih Eka
Terimakasih Hanna
Terimakasih Andris
Terimakasih Jery
Terimakasih Enda
Terimakasih Pater Farmas
Terimakasih Diana
Terimakasih Joe
Terimakasih guru Cifan
Terimakasih untuk cintamu yang besar ❤️❤️❤️
Mertin Lusi
( Hotel Sylvia Maumere,15/09/2025)
🤟🤩
ReplyDelete