Situs Watu Ata di Wolowio - Bajawa Flores Indonesia

Sejak beberapa tahun terakhir ini, bersama temans yang terkumpul secara alamiah,  kami seakan terlempar jauh ke sebuah pengalaman hidup yang memaksa untuk menyukai yang tak disukai. 
Menyusuri alam liar,  mengenal bau kehidupan alam kemudian menarik kami untuk pulang,  pulang ke rindu kampung halaman.

Hampir setiap waktu luang, kami gunakan untuk menjejakan setiap jengkal yang pernah ada cerita sebelumnya.  Cerita legenda, cerita mistik bahkan cerita barter antar penduduk dimasa silam yang kemudian perlahan membuat kami terus terpacu untuk mengenal,  mendengar, merasakan dan kembali berbagi tentang kisah itu.


 Minggu 21 Juni 2020, kami ber sembilan menggunakan sepeda motor menuju ke Desa Wawowae - kecamatan Bajawa.
Tepatnya di kampung Wolowio,  kae Fridus Sua bersama bapak dan mama sudah menanti. Kami akan diantar ka Fridus untuk jelajah beberapa lokasi yang sudah melegenda.
Rumahnya sebelah kiri paling pertama masuk kampung. Di sisi kanan rumahnya paling luar,  sebuah tali dari kulit kerbau dengan panjang sekitar 10 meter, terlilit bentuk lingkaran menggantung berderet bersama rahang babi, persis di bagian atas tengkorak kepala Kerbau yang masih lengkap dengan tanduknya. 
Aroma kopi disamping rumah yang sudah siap panen menjadi warna khas tersendiri untuk warga desa Wawwowae yang berpendudukan 3.000an orang ini.  Yah,  daerah dengan ketinggian 1.200 mdpl ini menjadi penyumbang terbesar selain Golewa Barat dalam produk pertanian khususnya Kopi.  Kopi disini harganya sudah cukup seimbang dengan keringat para petani. Ada beberapa Unit Pengolahan Hasil Kopi berdiri di desa ini dan tentunya petani kopi diwajibkan menjadi anggota.  Semua petani disini merawat kopi secara alamiah tanpa menggunakan zat kimia karena akan merusak cita rasa kopi.  Pantasan,  suguhan kopi dari keluarga ka Fridus sungguh beda citarasanya, rasa ingin tambah 😃.

Setelah ngobrol dan menghabiskan segelas kopi,  kami segera meluncur ke arah perkebunan kopi milik warga. Semakin menanjak, semakin indah kebun kopi disana.  Rapih,  bersih dan memanjakan mata karena buahnya sudah mulai merah.
Diujung kebun kopi,  setapak jalan sudah tidak memungkinkan untuk dilalui roda dua. Kami memutuskan untuk memarkir motor disitu dan melanjutkan dengan berjalan kaki.

Sekitar sepuluh menit perjalanan menanjak ke arah utara,  hamparan kebun kopi sudah jauh dibelakang kami,  di hadapan kami suguhan patahan bukit "Lobo Butu" tidak kalah menarik dengan gambar destinasi wisata yang tengah populer di lereng gunung Inerie.

Uniknya, sudah hampir empat bulan ini masyarakat desa Wawowae secara swadaya mengerjakan jalan secara manual untuk menghubungkan Wawowae dan Ghole.  Mereka bekerja setiap hari sabtu menggunakan peralatan seadanya. Yang bisa kita lihat dari kejauhan ini mirip dengan tembok besar di Cina. Serius.

Usai "water break" dan mendengarkan penjelasan dari ka Fridus,  kami kemudian melanjutkan perjalanan ke arah selatan.  Jalanan setapak kian menanjak.  Dua ekor anjing pemburu bernama Legend dan White ini terus menemani perjalanan kami, satunya di depan dan yang lainnya paling belakang seakan sedang mengawal tour ini dalam situasi aman lancar.
Jalan setapak ini sudah hampir sepenuhnya ditumbuhi rumput liar, karena sudah beberapa bulan terakhir ini jarang dilalui.  Fridus mengaku biasanya tamu sering berkunjung ke tempat ini namun karena pandemi covid 19 situasi sudah berubah dan dirinya tidak lagi datang ke tempat ini.
Di depan kami sudah mulai nampak bebatuan dengan ukuran sangat besar,  makin ke selatan jalur semakin ekstrim. Jurang selalu ada disebelah Kiri dan kananmu.

Persis di pertengahan bukit,  sebuah batu dengan tinggi sekitar 3 meter dengan lebar 2 meter ini berdiri kokoh  di tepi tebing.  Bagian atasnya tersusun sebuah batu yang ukurannya lebih kecil.
Batu inilah yang menjadi tujuan kedatangan kami. Kami beristirahat sejenak disitu.
Namanya " Watu Ata".
Dalam bahasa setempat, 
Watu : Batu
Ata : Orang / manusia.
Menurut kepercayaan setempat Watu Ata merupakan Manusia yang berubah menjadi Batu di masa silam. Dan batu tersebut mengisahkan tentang seorang ayah bersama anaknya.
Fridus yang juga merupakan sekretaris HPI Ngada ini mengisahkan tentang Watu Ata yang diperolehnya dari Orang tua secara turun temurun.
Konon,  penduduk yang mendiami kampung Wolowio dan sekitarnya ini semula menetap di tepi pantai di selatan kabupaten Ngada.  Aimere dan Waelengga. Namun karena adanya bencana alam ( Watu Boto Tana Lala) yang terjadi, mereka berlari menyelamatkan diri ke arah timur. Entah karena lelah bercampur panik, sambil berlari  seorang lelaki bersama anaknya yang duduk di pundaknya kemudian menoleh kebelakang untuk memastikan bahwa situasi baik - baik saja. Namun ternyata secara spontan keduanya berubah menjadi batu. Menurut kepercayaan jika sedang terjadi bencana dan kita sedang berlari menyelamatkan diri, hendaknya tidak boleh melihat kebelakang karena akan berubah menjadi batu.
 Secara pribadi,  saya sungguh yakin bila mendengar dari cerita ini,  tentu yang menjadi batu tidak hanya bapak dan anak tersebut namun ada banyak orang yang lainnya.  Di sekitar batu " Watu Ata" tersebut ada ratusan batu lainnya yang tidak kalah besar dan saya menduga,  ini juga merupakan orang yang mengalami hal yang sama pada masa itu,  namun belum ada penelitian atau cerita lainnya yang mengisahkan tentang hal ini.
Hingga saat ini Watu Ata atau Batu ayah dan anak tersebut belum diketahui siapa nama mereka sebenarnya.  Atau lebih tepatnya dari keturunan suku atau Woe ( Clan)  yang mana.  Sebab tidak jauh dari lokasi tersebut,  persis di tengah kebun warga ada sebuah batu juga  merupakan manusia yang berubah menjadi batu. Konon katanya itu merupakan istri dari watu ata ini.
Pernah ada satu cerita yang membuat semua warga kampung takut. Pada tahun 1992 terjadi gempa di Flores yang cukup banyak menelan korban jiwa ini,  rupanya salah satu batu di Watu Ata yang dipercaya sebagai anak ini terguling jauh ke kebun warga.  Semua warga mengetahui kejadian ini. Namun, entah bagaimana caranya beberapa hari kemudian batu tersebut sudah berada kembali di tenpatnya. Semua warga menjadi panik dan takut. Di pihak lainnya, ada warga yang mengaku menyaksikan batu tersebut diangkat oleh segumpal awan dan meletakkan kembali di tempatnya atau di pundak ayahnya.

Sebelum terjadinya bencana alam yang kemudian berimbas pada manusia berubah menjadi batu ini, ternyata kisahnya hampir mirip dengan kisah dari beberapa tempat yang lainnya. 
Bencana alam ini berawal ketika semua warga kampung pada masa itu menertawakan tentang kisah dua orang ibu menyusui yang menjadikan seekor anjing sebagai media untuk transportasi arang api. Pada masa itu, ibu menyusui harus tetap tinggal di dalam rumah. Di kampung tersebut hanya tinggal dua orang ibu menyusui sedangkan warga lainnya sedang di ladang. Karena sangat membutuhkan api untuk memasak,  terpaksa salah seorang ibu menyusui menggunakan seekor anjing sebagai perantara untuk mengantar bara api yang diikatkan pada ekornya untuk ibu menyusui yang lainnya. Kisah ini kemudian menjadi sebuah lelucon dan ditertawakan bersama keesokan harinya saat warga sedang berkumpul di halaman rumah. Pada masa itu,  alam sangat sensitif dengan perbuatan tidak menyenangkan dari manusia. Seketika itu juga, alam menjadi murka dan terjadilah bencana alam. Semua orang berusaha menyelamatkan diri. Dan terjadilah kisah " Watu Ata" yang kami datangi ini.
Kisah ini menjadi sebuah misteri dan harus digali untuk diketahui oleh semua orang.

Usai mendengar kisah tersebut, kami bergerak lagi kearah selatan melewati batu-batuan yang ukurannya sangat besar pula. Karena letaknya di atas ketinggian sedang di sebelah kiri dan kanan adalah jurang, ada banyak lebah yang terbang mengintari kami. Alhasil beberapa diantara kami tersengat lebah dan beruntung pertolongan pertama segera dilewati dan perjalanan kembali lancar.
Semakin ke selatan semakin menurun,  Patung Bunda Maria Ratu Semesta Alam nampak jelas dikejauhan.  Kami berada persis di bukit yang bersebelahan dengan bukit ziarah rohani ini. Laut lepas nampak jelas di bagian barat. Jejak kami babi hutan tampak dimana mana,  bahkan tempat tempat bernaungnya hewan liar inipun kami lewati.  Tempat atau semacam halaman kecil ini dibuat secara alami oleh babi hutan yang kemudian oleh ka Fridus dan teman teman menjadikan sebagai area camping.
Lokasi ini namanya Wonga Wea.
Wonga : kembang
Wea : Emas.
Di lokasi ini tumbuh berbagai jenis tanaman hias. Bahkan ada sebuah pohon menjadi tempat hidupnya habitat anggrek dengan beragam warna.
Sepanjang perjalanan kurang lebih 3 jam ini,  ada banyak pengetahuan baru yang kami pelajari.  Setiap berjumpa jenis tanaman,  mendengar suara burung bahkan jejak kaki hewan liar,  disitu kami larut dalam diskusi dan membedahnya satu persatu.
Oh ia,  sebelum lupa,  Desa Wawowae ini sudah masuk dalam desa ramah burung sejak tahun 2018 lalu. Ini terjadi atas usaha HPI Ngada yang terus mendorong pemerintah desa untuk menjaga alam dan hutan sebagai tempat hidupnya burung - burung. Ternyata warga masyarakatnya sangat mendukung dan hingga hari ini spesies burung menri tambah banyak, warganya pun tak pernah lagi berburu burung. 
Berikut bunga - bunga dan tanaman yang kami jumpai sepanjang perjalanan maupun yang ada di hutan.
Anggrek tanah ungu (Spathoglottis plicata)
Anggrek tanah putih (Arundina graminifolia)
Rambusa (Passiflora foetida Linne)
Cantigi (Vaccinium varingiaefolium)
Sintrong (Crassocephalum crepidioides)
Senduduk (Melastoma)
Beri hutan (Mauritius raspberry/Rubus rosifolius)
Kirinyuh bunga putih(Chromolaena odorata)
Kirinyuh bunga kuning (Tithonia diversifolia)
Pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis)
Ceplukan (Physalis angulata)
Gandrapura/tanaman balsem (Polygala paniculata)

Selain itu juga ada banyak jenis burung yang sempat terbang diatas kami ataupun bernyanyi mengiringi langkah kami.

Burung srigunting (Ise Si'e): Wallacean drongo, Burung madu sriganti (Jeghi): Olive-backed sunbird, Burung cekakak tunggir putih (Boro Toro) White-rumped Kingfisher, Burung Tesia Timor (Buku Bheto): Russet-capped Tesia, Burung Seriwang Asia (Lawi  Luja) Paradise flycatcher, Burung Kancilan Flores (Lio Ngala) Bare-throated Whistler, Burung Punglor Chestnut-backed Thrush, Burung Cucak Timor (aku koa) Helmeted friarbird, Burung Caladi tilik (Detu) Sunda pygmy woodpecker, Burung Wiwik cuncuing Rusty-breasted Cuckoo, Burung Kepodang Black-naped Oriole, Burung Delimukan Zamrud  Emerald dove, Burung Kehicap ranting Black-naped Monarch, Burung Kirik-kirik Australia  Rainbow bee-eater, Burung Kancilan Emas: Australian golden whistler, Burung Bubut alang2 (Toto): Lesser coucal,
Ayam Hutan (Kata): Green Junglefowl.

Disini ada juga Babi hutan (hui): wild boar (Sus scrofa), Kera ekor panjang (Solo/kodhe): Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis), Tikus besar (Betu): Flores giant rat (Papagomys armandvillei), Landak (Kutu): Sunda porcupine (Hystrix javanica), Musang Luwak: Asian palm civet.

Ada juga ular dengan berbagai jenis,  kadal hutan,rusa, dan kupu-kupu dengan berbagai jenis,ukuran dan warna yang belum diketahui secara pasti.

Perjalanan ke "Watu Ata " ini meskipun tidak sampai sehari penuh,  tapi berasa seperti mempelajari IPA di bangku SMP selama 3 tahun. Benar - benar luar biasa gurunya.  Sungguh tidak sia - sia, apalagi ketika kamibtiba dirumah,  bapak Yohanes dan mama Petronela bersama keluarga menyambut kami dengan ramah dan sukacita seperti anak yang hilang.  Perjamuan makan sorenya menjadi sempurna dengan "Tua Bhara" atau Wae Susu Dewa 😃😃 air suci.


Tima tii woso Mori Watu Tana.
Tima tii woso Untuk semua orang Wolowio yang sudah menjaga alam Watu Ata dengan baik...

Salam Hangat...
Mertin Lusi

1 comment:

Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua

  Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...