Usai melakukan siaran langsung misa minggu biasa ke 13 di gereja Maria Ratu Semesta Alam Langa, saya pulang kerumah dengan beragam agenda yang perlu diselesaikan saat itu juga. Agenda yang menjadi favorit yakni Nalo Tua Bhara bersama padhi loka, selanjutnya agenda wajib tiap hari minggu adalah cuci pakaian dan berikutnya agenda yang telah di tunda beberapa kali yakni survey beberapa habitat tanaman dan pohon untuk sebuah misi pribadi.
Setelah dipertimbangkan beberapa saat, akhirnya saya memilih pending Nalo Tua Bhara berhubung selama sepekan sebelumnya agenda Nalo terlalu ruru, kemudian cuci pakaian dibatalkan alhasil pakaian hanya dijemur untuk menghilangkan aroma tak sedap π dan mulai menyusun rute perjalanan melaksanakan agenda ketiga. Agenda survey dengan jalur tak semestinya. Masuk keluar hutan dan menyusuri setapak petani yang sulit dilalui kendaraan roda dua.
Langa - Mangulewa -Be'a - Nage - Nio - Jeru - Bawarani - Boba - Kezewea - Were II - Mataloko - Turekisa -Langa.
Lokasi ini terdapat di kecamatan Bajawa - Golewa Barat - Jerebuu-Golewa Selatan dan Golewa.
Perjalanan kali ini cukup menguras emosi. Emosi bahagia 50 persen, emosi takut 10 persen, emosi Haru 30 persen dan sisanya emosi campur aduk. π
Sekitar pukul sebelas lewat sepersekian detik, saya dan Fan berangkat menggunakan kendaraan roda dua. Menyisir wilayah Mangulewa dan masuk jalur kampung Be'a kecamatan Golewa Barat. Usai menjalankan tugas, kami menyempatkan untuk melihat lebih dekat PT Henindo Power yang lokasi operasi persis di jalur aliran air dari Air Terjun Wae Roa.
PT ini sudah dua tahun terakhir menyuplay listrik ke PLN Bajawa.
Oh ia, PT ini beroperasi untuk mengubah tenaga air menjadi listrik alias Listrik Tenaga Air. Dan sumber airnya dari mata air Waeroa yang debitnya lumayan bisa menggerakkan mesin.
Beberapa tahun yang lalu, ditempat ini juga sempat terjadi kecelakaan Kerja pada saat proses pemasangan material untuk PLTA. Pada saat itu, 4 pekerja yang dua orangnya asal Langa ini sedang memasang material diatas ketinggian sekitar 130 meter dengan menggunakan peralatan yang cukup canggih, namun sialnya alat transportasi yang mirip dengan flying fox ini menabrak habim yang terbuat dari baja saat mengangkut empat pekerja ini. Beruntung mereka selamat meskipun mengalami luka yang cukup serius. Dan kerja mereka inilah saya dan dirimu bisa menikmati listrik yang cukup lancar. Serius. Ini luar biasa.
Setelah mendapat ijin dari petugas jaga yang bernama Fudin Sunandar, kami menyusuri jalur aliran air untuk melihat lebih dekat lokasi Air terjun Wae Roa.
Saat dilokasi, air yang jatuh itu debitnya sangat rendah dan nyaris tak terlihat dan tak terdengar seperti air terjun lainnya. Rupanya, bila mesin pembangkit listrik sedang ON alias berbunyi maka Air Terjunnya OFF dan sebaliknya. Proses pembangkit listrik tersebut menyedot keseluruhan jumlah air dari mata Air Waeroa ini. Sehingga apabila mesin selalu ON, lokasi Air terjun menjadi tidak menarik dan akan menjadi kecil kemungkinan air Terjun Wae Roa dijadikan lokasi wisata. Selain itu, kandungan belerang di tempat ini cukup tinggi dan tidak direkomendasikan bagi yang mengalami gangguan pernafasan untuk mendekat ke lokasi ini. Mari belajar dari kasus yang pernah terjadi di kecamatan sebelah kita baru baru iniππ.
Perjalanan berlanjut ke arah kecamatan Jerebuu. Menyusuri jalur menurun ke arah selatan hingga di ujung aspal yang sedikit membingungkan. Putar dan pulang kembali melalui jalur Vila sudah sangat jauh dan melelahkan. Hanya ada pilihan maju terus. Semakin kedepan, setapak makin sempit dan berlumpur. Berhenti beberapa saat di setiap pertigaan atau perempatan setapak untuk spekulasi jalur tempuh. Bertengkar? Wajib. Maki maki? Itu pasti. Apalagi baru menyadari ternyata diantara kami tak satupun yang membawa makanan ringan ataupun uang untuk beli makan di perjalanan. Hanya bermodal air mineral 900 ml. Boleh minum bila benar benar haus.
Sempat beberapa kali kami bertengkar karena jalur yang dipilih ternyata sampai pada jalan buntu. Putar kembali, dorong, dan tarik kendaraanpun berulang kali. Kamipun sampai di lokasi pusat mata air panas Malanage setelah melintasi di kebun warga yang sudah ditanam jagung. π maaf π. Perasaan lega ketika melihat ada beberapa rumah warga disana.
Perjalanan dilanjutkan melalui setapak dusun Nio Lewa hingga dusun Tiwungebu desa Nenowea. Usai menyelesaikan tugas utama, kami bergerak menuju desa Bawarani Golewa Selatan. Kemudian menyempatkan melihat lebih dekat lokasi wisata Air Panas Soka desa Boba.
Setelah beberapa menit ngobrol dengan bapak Anton, kami diperbolehkan untuk melihat lebih dekat lokasi kolam air panas alami ini. Menurut bapak Anton, suhu air panas tersebut sekitar 43 derajad. Bisa menyembuhkan beberapa penyakit dan itupun tergantung keyakinan dari pribadi masing masing orang.
Letaknya yang cukup jauh dari keramaian menambah suasana damai dan cocok untuk bermeditasi.
Lokasi ini berjarak sekitar 200 meter dari jalan raya. Bisa ditempuh menggunakan roda dua ataupun roda empat.
Bapak Anton dan Istrinya Elisabet juga merupakan salah satu dari pemilik tanah di air panas tersebut. Saat ini pemerintah desa setempat bekerjasama dengan para pemilik tanah dalam pengelolaan aset wisata.
Anton dan istrinya kemudian berinisiatif membuka rumah penginapan dengan harga 15.000 per malam bagi yang ingin menginap. Tempatnya persis di area parkiran. Seadanya dan sederhana namun menarik.
Sejak akhir Maret lalu tempat ini sepi pengunjung namun sampah plastik ada dimana - mana. Meskipun sudah di sediakan tempat sampah, dan ada beberapa tulisan peringatan untuk tertib sampah tapi semua itu tidak diindahkan pengunjung. Bahkan bapak Anton mengaku plang tulisan dan tempat sampah malah dibuat rusak oleh tangan tangan yang tidak bertanggungjawab. Semoga new normal ini wisatawan lokal memiliki new habit.
Matahari sudah mulai condong ke barat, ngobrol sudah mulai luar kendali dan perut sudah berbunyi. Saling lirik seakan isyarat untuk segera mengakhiri dan pamit pulang ke Langa.
Kami meninggalkan parkitan usai membuat janji dengan bapak Anton untuk datang lagi dengan tujuan melihat lebih dekat Air terjun soka, Ngaba Ube dan Roba Leke.
Di pertigaan sebelum masuk jalan raya beraspal kami berdiskusi sejenak untuk pulang ke Langa melalui jalur kanan melewati Jerebuu atau jalur kiri melalui Laja - Utaseko.
Pilihanpun jatuh ke jalur kiri. Sepanjang jalan, topik ngobrol hanya masalah perut. Berharap ada yang kenal di perjalanan dan berhenti sejenak untuk minum teh. Hayalan ikan bakar dan arak boba terus melambung. Alhasil, berhenti sejenak dan berbagi air minum yang kami bawa dari rumah. Lumayan. Sedikit menunda lapar.
Usai minum air seteguk, ide cemerlang muncul seketika. Kami melanjutkan tugas utama melihat beberapa habitat pohon yang ada disepanjang garis pantai. Jalurnya bisa dilewati kendaraan roda dua maupun roda empat. Masih ada beberapa rumah warga yang kami lewati. Makin ke timur, makin sepi. Beberapa sumber air yang keluar dari tebing batu kami lewati. Pohon - pohon besar dengan usia ratusan tahun kami lalui. Perasaan takut sudah mulai muncul dan ingin cepat kembali pulang. Pulang ke jalan yang benar.
Setapak yang kami lalui ini cukup mencekam. Sebelah kanan jurang dan laut, bila kurang fokus maka bisa sajak terperosok karena sudah mulai banyak yang longsor. Sebelah kiri ada tebing batu yang sudah retak tak beraturan juga ditumbuhi beberapa pohon dengan akar menggantung sepanjang tebing.
Jalan buntu di depan kami.
Motor kami tinggalkan begitu saja dengan beberapa daun mentah diletakkan dibagian tempat duduk. Dengan harapan tidak ada yang mencuri ataupun sengaja menjatuhkan ke laut.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan pisang. Sekitar 20 meter berjalan kaki, Motor laut milik nelayan nampak berbaris disebelah kanan. Ternyata kami memasuki daerah muara. Di tepi muara yang lainnya, seorang lelaki tua memikul setandan pisang hendak pulang ke rumah. Fan berteriak mencoba bertanya tentang lokasi air terjun.
Lelaki tua yang kemudian diketahui bernama lengkap Andreas Rabu ini menghampiri kami dan bersedia mengantar ke tempat yang dituju. Melewati muara dan dua ladang singkong milik warga, akhirnya kami bisa melihat lebih dekat air terjun Wae Pua.
Opa Ande demikian dia biasa di sapa menemani dan menjawab dengan ramah setiap rasa ingin tau kami.
Menurut cerita, Air terjun ini pernah di incar menjadi lokasi pembangunan PLTA namun karena debitnya terlalu besar maka rencanapun di tunda hingga hari ini.
Tingginya sekitar 10 meter namun kekuatan jatuhnya sangat besar sehingga kami yang berdiri di tepi kolam bisa merasakan cipratan butir butir air.
Bila musim hujan tiba, debit airnya akan bertambah besar dan bahkan airnya akan meluap hingga ke ladang warga. Tinggi luapan bisa mencapai dua meter. Bekas - bekas luapan airpun masih terlihat jelas dari sampah sampah yang terbawa arus banjir yang masih melekat di beberapa bagian pohon.
Ternyata ke tempat ini sangat mudah di tempuh melalui dermaga lama di Maumbawa. Hanya perlu bertanya ke warga sekitar, akan ada petunjuk menuju tempat ini.
Mudah. Tapi kami membuatnya menjadi sangat rumit dan genting.
Dalam perjalanan setengah hari tanpa bekal dan kelaparan ini, ada banyak hal menarik yang saya dan Fan refleksikan.
Hal utama yang kami rasakan adalah perjumpaan dengan opa Andreas Rabu.
Rupanya, Opa Ande adalah putra kelahiran kampung Tololela desa Manubhara. Menikah dengan wanita asal Kezewea - Golewa Selatan dan memilih menetap di desa ini. Kerjanya menjual pisang yang dipanennya dari pinggir tebing dekat air terjun. Ini cukup berbahaya. Tapi apa boleh buat, tak ada yang bisa menggantikan posisinya. Dirumah hanya tinggal berdua dengan istrinya. Tak dikaruniai anak. Hidup seadanya.
Yang membuat rasa lapar kami lenyap adalah ketika menyadari lelaki tua ini berbicara bahasa daerah Bajawa dengan dialeg Jerebuu. Ada hal yang menggerakkan hati ketika mendengar kesamaan bahasa.
Lelaki kurus dan kelihatan letih ini berkisah tentang kerinduan akan "Buku Reba". Moment yang membuat rindu semua orang untuk berkumpul bersama keluarga. Sudah 20 tahun terakhir ini, opa Ande sudah tidak pernah pulang lagi ke Tololela. Sudah lama tidak pernah kumpul keluarga.
" Komi le mora bhete , jao rasa bai dada. Ana mora we wado, wai mona wado nee sei, " katanya.
( biarlah rasa rindu ini dipendam, mau pulang tapi saya rasa terlalu jauh. Saya juga ingin pulang tapi bingung mau pulang dengan siapa)
Perasaan hati sungguh teriris. Ingin rasanya menangis tapi malu. Ingin rasanya membantu tapi hanya sebesar niat yang kuat.
Dalam perjumpaan ini, Fan seperti melihat sosok Opa Yoakim dalam diri Opa Ande, dan saya juga seperti melihat sosok Opa Yosep dalam diri opa Ande ini.
Lebih daripada itu, ada banyak hal yang tidak mampu dilukiskan dalam kata - kata.
Bagi saya secara pribadi, ini adalah perjumpaan kudus. Sebuah perjalanan mencari dan menuju dalam diri sendiri.
Berharap bisa bertemu lagi dengan opa Ande di waktu yang akan datang.
Tima tii woso Opa Ande..
Semoga selalu sehat dan kuat.
Setelah dipertimbangkan beberapa saat, akhirnya saya memilih pending Nalo Tua Bhara berhubung selama sepekan sebelumnya agenda Nalo terlalu ruru, kemudian cuci pakaian dibatalkan alhasil pakaian hanya dijemur untuk menghilangkan aroma tak sedap π dan mulai menyusun rute perjalanan melaksanakan agenda ketiga. Agenda survey dengan jalur tak semestinya. Masuk keluar hutan dan menyusuri setapak petani yang sulit dilalui kendaraan roda dua.
Langa - Mangulewa -Be'a - Nage - Nio - Jeru - Bawarani - Boba - Kezewea - Were II - Mataloko - Turekisa -Langa.
Lokasi ini terdapat di kecamatan Bajawa - Golewa Barat - Jerebuu-Golewa Selatan dan Golewa.
Perjalanan kali ini cukup menguras emosi. Emosi bahagia 50 persen, emosi takut 10 persen, emosi Haru 30 persen dan sisanya emosi campur aduk. π
Sekitar pukul sebelas lewat sepersekian detik, saya dan Fan berangkat menggunakan kendaraan roda dua. Menyisir wilayah Mangulewa dan masuk jalur kampung Be'a kecamatan Golewa Barat. Usai menjalankan tugas, kami menyempatkan untuk melihat lebih dekat PT Henindo Power yang lokasi operasi persis di jalur aliran air dari Air Terjun Wae Roa.
PT ini sudah dua tahun terakhir menyuplay listrik ke PLN Bajawa.
Oh ia, PT ini beroperasi untuk mengubah tenaga air menjadi listrik alias Listrik Tenaga Air. Dan sumber airnya dari mata air Waeroa yang debitnya lumayan bisa menggerakkan mesin.
Beberapa tahun yang lalu, ditempat ini juga sempat terjadi kecelakaan Kerja pada saat proses pemasangan material untuk PLTA. Pada saat itu, 4 pekerja yang dua orangnya asal Langa ini sedang memasang material diatas ketinggian sekitar 130 meter dengan menggunakan peralatan yang cukup canggih, namun sialnya alat transportasi yang mirip dengan flying fox ini menabrak habim yang terbuat dari baja saat mengangkut empat pekerja ini. Beruntung mereka selamat meskipun mengalami luka yang cukup serius. Dan kerja mereka inilah saya dan dirimu bisa menikmati listrik yang cukup lancar. Serius. Ini luar biasa.
Setelah mendapat ijin dari petugas jaga yang bernama Fudin Sunandar, kami menyusuri jalur aliran air untuk melihat lebih dekat lokasi Air terjun Wae Roa.
Saat dilokasi, air yang jatuh itu debitnya sangat rendah dan nyaris tak terlihat dan tak terdengar seperti air terjun lainnya. Rupanya, bila mesin pembangkit listrik sedang ON alias berbunyi maka Air Terjunnya OFF dan sebaliknya. Proses pembangkit listrik tersebut menyedot keseluruhan jumlah air dari mata Air Waeroa ini. Sehingga apabila mesin selalu ON, lokasi Air terjun menjadi tidak menarik dan akan menjadi kecil kemungkinan air Terjun Wae Roa dijadikan lokasi wisata. Selain itu, kandungan belerang di tempat ini cukup tinggi dan tidak direkomendasikan bagi yang mengalami gangguan pernafasan untuk mendekat ke lokasi ini. Mari belajar dari kasus yang pernah terjadi di kecamatan sebelah kita baru baru iniππ.
Perjalanan berlanjut ke arah kecamatan Jerebuu. Menyusuri jalur menurun ke arah selatan hingga di ujung aspal yang sedikit membingungkan. Putar dan pulang kembali melalui jalur Vila sudah sangat jauh dan melelahkan. Hanya ada pilihan maju terus. Semakin kedepan, setapak makin sempit dan berlumpur. Berhenti beberapa saat di setiap pertigaan atau perempatan setapak untuk spekulasi jalur tempuh. Bertengkar? Wajib. Maki maki? Itu pasti. Apalagi baru menyadari ternyata diantara kami tak satupun yang membawa makanan ringan ataupun uang untuk beli makan di perjalanan. Hanya bermodal air mineral 900 ml. Boleh minum bila benar benar haus.
Sempat beberapa kali kami bertengkar karena jalur yang dipilih ternyata sampai pada jalan buntu. Putar kembali, dorong, dan tarik kendaraanpun berulang kali. Kamipun sampai di lokasi pusat mata air panas Malanage setelah melintasi di kebun warga yang sudah ditanam jagung. π maaf π. Perasaan lega ketika melihat ada beberapa rumah warga disana.
Perjalanan dilanjutkan melalui setapak dusun Nio Lewa hingga dusun Tiwungebu desa Nenowea. Usai menyelesaikan tugas utama, kami bergerak menuju desa Bawarani Golewa Selatan. Kemudian menyempatkan melihat lebih dekat lokasi wisata Air Panas Soka desa Boba.
Setelah beberapa menit ngobrol dengan bapak Anton, kami diperbolehkan untuk melihat lebih dekat lokasi kolam air panas alami ini. Menurut bapak Anton, suhu air panas tersebut sekitar 43 derajad. Bisa menyembuhkan beberapa penyakit dan itupun tergantung keyakinan dari pribadi masing masing orang.
Letaknya yang cukup jauh dari keramaian menambah suasana damai dan cocok untuk bermeditasi.
Lokasi ini berjarak sekitar 200 meter dari jalan raya. Bisa ditempuh menggunakan roda dua ataupun roda empat.
Bapak Anton dan Istrinya Elisabet juga merupakan salah satu dari pemilik tanah di air panas tersebut. Saat ini pemerintah desa setempat bekerjasama dengan para pemilik tanah dalam pengelolaan aset wisata.
Anton dan istrinya kemudian berinisiatif membuka rumah penginapan dengan harga 15.000 per malam bagi yang ingin menginap. Tempatnya persis di area parkiran. Seadanya dan sederhana namun menarik.
Sejak akhir Maret lalu tempat ini sepi pengunjung namun sampah plastik ada dimana - mana. Meskipun sudah di sediakan tempat sampah, dan ada beberapa tulisan peringatan untuk tertib sampah tapi semua itu tidak diindahkan pengunjung. Bahkan bapak Anton mengaku plang tulisan dan tempat sampah malah dibuat rusak oleh tangan tangan yang tidak bertanggungjawab. Semoga new normal ini wisatawan lokal memiliki new habit.
Matahari sudah mulai condong ke barat, ngobrol sudah mulai luar kendali dan perut sudah berbunyi. Saling lirik seakan isyarat untuk segera mengakhiri dan pamit pulang ke Langa.
Kami meninggalkan parkitan usai membuat janji dengan bapak Anton untuk datang lagi dengan tujuan melihat lebih dekat Air terjun soka, Ngaba Ube dan Roba Leke.
Di pertigaan sebelum masuk jalan raya beraspal kami berdiskusi sejenak untuk pulang ke Langa melalui jalur kanan melewati Jerebuu atau jalur kiri melalui Laja - Utaseko.
Pilihanpun jatuh ke jalur kiri. Sepanjang jalan, topik ngobrol hanya masalah perut. Berharap ada yang kenal di perjalanan dan berhenti sejenak untuk minum teh. Hayalan ikan bakar dan arak boba terus melambung. Alhasil, berhenti sejenak dan berbagi air minum yang kami bawa dari rumah. Lumayan. Sedikit menunda lapar.
Usai minum air seteguk, ide cemerlang muncul seketika. Kami melanjutkan tugas utama melihat beberapa habitat pohon yang ada disepanjang garis pantai. Jalurnya bisa dilewati kendaraan roda dua maupun roda empat. Masih ada beberapa rumah warga yang kami lewati. Makin ke timur, makin sepi. Beberapa sumber air yang keluar dari tebing batu kami lewati. Pohon - pohon besar dengan usia ratusan tahun kami lalui. Perasaan takut sudah mulai muncul dan ingin cepat kembali pulang. Pulang ke jalan yang benar.
Setapak yang kami lalui ini cukup mencekam. Sebelah kanan jurang dan laut, bila kurang fokus maka bisa sajak terperosok karena sudah mulai banyak yang longsor. Sebelah kiri ada tebing batu yang sudah retak tak beraturan juga ditumbuhi beberapa pohon dengan akar menggantung sepanjang tebing.
Jalan buntu di depan kami.
Motor kami tinggalkan begitu saja dengan beberapa daun mentah diletakkan dibagian tempat duduk. Dengan harapan tidak ada yang mencuri ataupun sengaja menjatuhkan ke laut.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan pisang. Sekitar 20 meter berjalan kaki, Motor laut milik nelayan nampak berbaris disebelah kanan. Ternyata kami memasuki daerah muara. Di tepi muara yang lainnya, seorang lelaki tua memikul setandan pisang hendak pulang ke rumah. Fan berteriak mencoba bertanya tentang lokasi air terjun.
Lelaki tua yang kemudian diketahui bernama lengkap Andreas Rabu ini menghampiri kami dan bersedia mengantar ke tempat yang dituju. Melewati muara dan dua ladang singkong milik warga, akhirnya kami bisa melihat lebih dekat air terjun Wae Pua.
Opa Ande demikian dia biasa di sapa menemani dan menjawab dengan ramah setiap rasa ingin tau kami.
Menurut cerita, Air terjun ini pernah di incar menjadi lokasi pembangunan PLTA namun karena debitnya terlalu besar maka rencanapun di tunda hingga hari ini.
Tingginya sekitar 10 meter namun kekuatan jatuhnya sangat besar sehingga kami yang berdiri di tepi kolam bisa merasakan cipratan butir butir air.
Bila musim hujan tiba, debit airnya akan bertambah besar dan bahkan airnya akan meluap hingga ke ladang warga. Tinggi luapan bisa mencapai dua meter. Bekas - bekas luapan airpun masih terlihat jelas dari sampah sampah yang terbawa arus banjir yang masih melekat di beberapa bagian pohon.
Ternyata ke tempat ini sangat mudah di tempuh melalui dermaga lama di Maumbawa. Hanya perlu bertanya ke warga sekitar, akan ada petunjuk menuju tempat ini.
Mudah. Tapi kami membuatnya menjadi sangat rumit dan genting.
Dalam perjalanan setengah hari tanpa bekal dan kelaparan ini, ada banyak hal menarik yang saya dan Fan refleksikan.
Hal utama yang kami rasakan adalah perjumpaan dengan opa Andreas Rabu.
Rupanya, Opa Ande adalah putra kelahiran kampung Tololela desa Manubhara. Menikah dengan wanita asal Kezewea - Golewa Selatan dan memilih menetap di desa ini. Kerjanya menjual pisang yang dipanennya dari pinggir tebing dekat air terjun. Ini cukup berbahaya. Tapi apa boleh buat, tak ada yang bisa menggantikan posisinya. Dirumah hanya tinggal berdua dengan istrinya. Tak dikaruniai anak. Hidup seadanya.
Yang membuat rasa lapar kami lenyap adalah ketika menyadari lelaki tua ini berbicara bahasa daerah Bajawa dengan dialeg Jerebuu. Ada hal yang menggerakkan hati ketika mendengar kesamaan bahasa.
Lelaki kurus dan kelihatan letih ini berkisah tentang kerinduan akan "Buku Reba". Moment yang membuat rindu semua orang untuk berkumpul bersama keluarga. Sudah 20 tahun terakhir ini, opa Ande sudah tidak pernah pulang lagi ke Tololela. Sudah lama tidak pernah kumpul keluarga.
" Komi le mora bhete , jao rasa bai dada. Ana mora we wado, wai mona wado nee sei, " katanya.
( biarlah rasa rindu ini dipendam, mau pulang tapi saya rasa terlalu jauh. Saya juga ingin pulang tapi bingung mau pulang dengan siapa)
Perasaan hati sungguh teriris. Ingin rasanya menangis tapi malu. Ingin rasanya membantu tapi hanya sebesar niat yang kuat.
Dalam perjumpaan ini, Fan seperti melihat sosok Opa Yoakim dalam diri Opa Ande, dan saya juga seperti melihat sosok Opa Yosep dalam diri opa Ande ini.
Lebih daripada itu, ada banyak hal yang tidak mampu dilukiskan dalam kata - kata.
Bagi saya secara pribadi, ini adalah perjumpaan kudus. Sebuah perjalanan mencari dan menuju dalam diri sendiri.
Berharap bisa bertemu lagi dengan opa Ande di waktu yang akan datang.
Tima tii woso Opa Ande..
Semoga selalu sehat dan kuat.
No comments:
Post a Comment