Hilang



Ayam jantan mengusikku dari buaian mimpi. Masih dingin, rasanya tidak sanggup berdiri karena dinginnya udara pagi ini. Mungkin bukan hanya pagi ini. Setiap hari dingin itu selalu menghantui insan yang menetap di kota kecil yang dikenal dengan Bajawa. Yah, julukan kota dingin, memang tepat, aku rasa itu benar. Saat aku berusaha membuka mata, kedua cicak dengan pongahnya berjalan begitu angkuh, mungkin mereka meledekku atau mungkin karena mereka telah mendapatkan nyamuk yang tadi malam bernyayi dengan suara sopran  tinggi di telingaku? Ah entahlah...
“ Bangun, sudah pagi” Sapaan yang khas dari wanita hebat sepanjang masa yang kupanggil mama.
“ Ia Mama, sedikit lagi.” Kataku dengan malas. Ayam-ayam ku dengar berebutan mencotok biji jagung yang diberikan oleh mama. “Ah ayam, masih pagi engkau begitu rakus” Kataku dalam hati.
Aku bangun dan merapikan tempat tidurku. Jarum jam seolah berlari, saling berkejaran. Saat aku keluar, aku berharap mentari sudah memancarkan sinarnya yang gagah, namun aku makin kesal saat aku tahu awan sengaja menghalangi cantiknya mentari pagi ini.
Pagi ini, meski agak berat aku tetap pada rencanaku untuk mendaki bukit. Sudah lama aku tidak ke sana. Empat tahun kuhabiskan waktu mengejar mimpi di kota pelajar Ende. Kini rasa rinduku pada aroma rerumputan, pada desiran air yang mengalir, pada kicauan pipit yang bersembunyi di balik semak, pada Ibu gunung yang ku sebut Inerie. Aku rindu semuanya.
“ mau ke mana?” Tanya mama.
“ ke Watunariwowo mama, rindu mau ke sana” kataku pelan.
“ Tidak minum dulu?” tawaran yang menggiurkan. Apalagi aroma kopi Bajawa yang menggoda masuk ke hidungku. Tetapi segera ku tepis. Aku putuskan mengisi kopi yang sudah dibuatkan mama ke termos kecil yang bisa di bawa kemana-mana. Ku pakai ransel, dan akupun segera pergi. Mamapun tak lagi berkata banyak. Dia tahu aku suka ke sana, karena di sana aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Kadang ku duduk menulis sambil memandangi sapi-sapi yang memakan rumput segar dengan rakusnya.
Aku percepat langkahku, sepertinya sepi. Mungkin masih pagi. Langkahku semakin ku percepat. Aku tak peduli pada lelah, aku tak peduli pada letihnya tanjakan ini. Rasa rinduku mempercepat langkahku pada tempat yang telah memberiku inspirasi.
Saat langkahku semakin ku percepat, rasanya ada keanehan. Rasanya semua telah berubah. Bahagia  seketika berubah menjadi duka. Saat ku lihat pepohonan yang telah mengering, rerumputan menghitam, tanah menjadi panas meski masih pagi.
“ Siapa yang melakukan ini?” Kataku dalam hati
Seketika air mataku mengalir  perlahan. Kupegangi rerumputan yang tlah berubah menjadi abu. Ini baru dibakar tadi malam, karena rerumputan ini masih hangat di tanganku.
Aku termangu, duduk tak bersuara. Seolah aku jadi bisu sementara waktu. Keindahan ini, apakah mereka tak menyadarinya? Tanyaku dalam hati. Aku seolah mengutuk perbuatan mereka yang sengaja merusak tempat favoritku saat aku pulang dari tempat yang jauh.
Hembusan angin tak terasa segar, asap yang masih mengepul membawaku pada perasaan kecewa. Aku hanya mendekat, dan mematikan api yang tersisa. Lama aku berdiri. Tak ada yang bisa kutulis di diary yang biasanya kubawa di tempat ini. Aku melangkah mencoba mencari tempat yang nyaman. Aku tak menemukannya. Pepohonan kering, rumput yang menghitam, asap yang masih mengepul menjadi pemandangan yang sungguh menyakitkan.
Ku keluarkan ponsel dari dalam ranselku, dengan kesal dan air mata yang menetes ku ambil gambar di sekelilingku dan ku posting ke facebook. Ku sengaja menamai unggahanku dengan derai air mata.
Baru satu menit kuposting, sebuah komentar muncul di sana “ kasihan” Itu saja. Kalimat itu seolah membuatku bertanya-tanya atau mungkin juga meledekku. Kasihan pada semua yang lenyap oleh si jago merah, atau kasihan padaku yang kehilangan tawa saat menyaksikan ini semua?”
“ Apa makdunya?” Balasku.
“ Hanya kasihan saja, pada kamu dan pada tempat favoritmu.” Kalimat balasan ini membuatku tak mampu menahan gejolak amarah yang tidak bisa kubendung.
“ Aneh! “ Jawabku singkat. Tak ada balasan lagi. Apa mereka tertawa di sana melihat ini? Atau mereka berpura-pura simpati terhadap ini? Ah...entahlah, akupun meninggalkan bukit yang menjadi tempat favoritku itu. Dengan langkah gontai, aku menapaki rerumputan yang tlah lenyap menjadi abu. Di sana tapak kakiku seolah mulai tersapu duka. Angin sesekali menggoda dedaunan yang tlah berubah warna menjadi coklat, sementara burung pipit terbang meninggalkan pepohonan dan mulai berkelana mencari persinggahan yang baru.

Penulis : Agustina Bate
Guru SMPK St. Agustinus Langa
Tinggal di Langa

No comments:

Post a Comment

Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua

  Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...