Kampung adat merupakan sebuah wilayah desa yang masih menjaga dengan baik warisan leluhur. Melalui kampung adat ini, kita dapat mempelajari nilai-nilai yang telah diberikan oleh nenek moyang, menjaga dan melestarikannya. Berikut kisah kampung adat Liti yang penuh keunikan dan dapat dijadikan destinasi wisata bagi kamu yang ingin mendapatkan cerita yang berbeda dari Selatan kabupaten Nagekeo.
Kampung ini masuk dalam wilayah desa Riti kecamatan Nangaroro kabupaten Nagekeo,Flores Indonesia. Letaknya dipegunungan ini menjadi sentra pertanian.Tempat yang sejuk memungkinkan di Riti dikembangkan pertanian kelapa,cengkeh, kopi dan juga vanili.
Dari pusat kota Mbay bisa ditempuh selama 3 jam dengan menggunakan roda dua maupun empat. Dari arah pusat paroki Nangaroro bisa menggunakan jalur belok kiri menuju arah selatan hingga kampung Liti bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Jalur menuju kampung ini belum memiliki
rambu penunjuk arah sehingga rambu yang tepat digunakan adalah bertanya kepada siapapun yang dijumpai di jalan. Bila sudah sampai di depan kantor desa Tonggo, kita bisa mengambil jalur kanan menuju arah pegunungan. Desa Tonggo ini juga salah satu desa di kecamatan Nangaroro yang sebagian besar penduduknya nelayan.Hal ini disebabkan karena letak geografis desa ini dipesisir pantai. kerajinan tenun juga menjadi ciri khas desa ini.Untuk meningkatkan produksi kain tenun disetiap RW di desa Tonggo telah dibangun sanggar tenun juga.
Untuk kampung tradisional di Liti, atap rumahnya terbuat dari sirap/bambu bilah kecil yg disusun panjang pendek. Dari kejauhan terlihat mirip seperti genteng. Namun cara menyusun bilah bambu ini sedikit lebih rumit karena ukuran panjang pendek bambu harus sesuai juga tehnik peletakannya. Biasanya ukuran sirap ini plaing panjang 50 cm. Menurut pengakuan warga, sejak berdirinya kampung Liti, warga sempat membuat atap menggunakan alang-alang, dan daun kelapa,kemudian sirap dan saat ini beberapa rumah sudah ada yang menggunakan atap seng. Sedangkan dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang disusun dengan berbagai variasi. Saat ini rumah adat yang masih bertahan utuh dengan anyaman dinding bambu juga atap sirap hanya bisa di hitung dengan jari karena warga sudah mulai beralih ke rumah modern.
Meski demikian, keseluruhan warga yang mendiami kampung ini masih sangat percaya dengan semua peninggalan leluhur termasuk beberapa batu misterius yang ada di kampung tersebut.
Untuk masuk ke dalam kampung terdapat beberapa pantangan yang harus ditaati oleh mereka yang mendiami kampung ini maupun pengunjung. Pantangannya yakni tidak boleh membawa masuk dalam kampung bersama daun pisang, daun pandan, tebu dan pinang. Apabila ada yang melanggar maka akan terjadi bencana hujan badai yang bisa menghancurkan seluruh isi kampung. Hal ini sudah pernah terbukti beberapa tahun yang lalu, pada saat pengunjung yang secara tidak sengaja membawa masuk beberapa barang yang di larang tersebut. Untungnya, beberapa tetua adat dalam kampung tersebut langsung mengadakan upacara adat di atas Watu Pene yang ada persis di tengah kampung.
Watu Pene ini menyerupai meja yang terdiri dari batu ceper yang diletakan diatas beberapa batu yang lainnya. Batu ini sudah ada sejak dahulu.
Gerbang masuk menuju kampung ini dimulai dengan anak tangga yang tersusun secara alamiah dari batu batu ceper. Dulu, kampung ini tidak ada akses masuk. Barangkali leluhur menggunakan tangga kayu untuk masuk dan keluar namun kemudian secara bersama mengerjakan tangga dengan jumlah sekitar 46 anak tangga. Beberapa kali mencoba hitung ulang tapi jumlahnya kadang berbeda. Mungkin saja pengunjung yang berbeda akan mendapatkan jumlah yang berbeda bila di hitung.
Warga kampung ini memiliki keyakinan bahwa bila mengalami kesusahan atau ingin mencari solusi, bisa naik turun tangga sambil mengucapkan doa dengan sungguh dan pasti akan mendapatkan petunjuk. Juga sebaliknya bila tangga ini diruntuhkan dan dibangun ulang dengan tangga modern maka akan terjadi malapetaka.
Persis di pertengahan tangga, terdapat sebuah batu besar di bagian kanan. Batu ini namanya Watu Rio Rangga.
Konon, kisah tentang Watu Rio Rangga ini yakni di kampung tersebut hiduplah seorang pemuda bernama Rangga. Beliau tinggal sendirian dirumah sehari-hari bekerja di kebun. Setiap kali pulang kerumah selalu mendapati rumahnya telah bersih dan makanan juga minuman telah tersedia. Selalu setiap hari. Pada suatu ketika, Rangga berniat untuk mencari tahu siapa sosok yang datang kerumahnya ketika dia sednag dikebun. Pada waktu pagi hari, Rangga seperti biasa berkemas untuk ke kebun. Namun beberapa saat kemudian dia balik lagi kerumah untuk mencari tahu. Ternyata dia menemukan seorang gadis cantik yang merupakan penjelmaan dari wawi tolo ( babi merah). Rangga sangat kaget lalu tiba-tiba berubah menjadi bisu. Gadis cantik tersebutpun menjadi istrinya meskipun Rangga menjadi Bisu.
Para warga yang lain membuat upacara adat kemudian meletakkan Rangga diatas Batu lalu memandikannya dengan darah kerbau. Ranggapun bisa berbicara kembali. Dan hingga kini batu tempat memandikan Rangga dinamai Watu Rangga. Keturunan Rangga bersama gadis jelmaan tersebut sangat banyak hingga ke pulau Ende dan sekitarnya.
Memasuki kampung, terdapat sebuah batu yang dinamai Watu Sudhu Umu ( Hitung Umur). Menurut kepercayaan warga, semua orang tidak boleh membandingkan tinggi badannya dengan batu tersebut karena bila terjadi maka orang tersebut akan segera meninggal dunia. Tidak diperbolehkan untuk mengukur siapa yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.
Memasuki bagian tengah kampung terdapat batu yang menyerupai mesbah dengan dua buah batu diatasnya. Batu ini merupakan sombol Peo. Peo merupakan lambang etnis Nagekeo.
Persis sekitar dua meter dari Peo, terdapat Watu Fay ( Batu perempuan). Di tengah batu ini terdapat sebuah lubang kecil dan tidak diperbolehkan siapapun untuk mengorek luang tersebut kecuali melalui upacara adat. Menurut pengakuan warga, bila terjadi kemarau panjang maka mereka akan segera melakukan upacara adat yang kemudian lubang kecil tersebut boleh dikorek menggunakan kayu. Bila terdapat tanah basah, maka pertanda hujan akan segera turun namun bila tidak menemukan sesuatu maka akan terjadi bencana kekeringan.
Diujung kampung bagian barat, terdapat sebuah batu namanya Watu Di ( Batu Bunyi). Batu ini akan berbunyi sendiri bila akan terjadi kematian yang menimpa warga kampung tersebut. Dulunya, batu ini bentuknya seperti meja dengan beberapa kaki penyanggah sehingga bunyinya snagat nyaring bilang akan ada warga yang meninggal. Namun karena warga sangat jengkel mendengar bunyi batu tersebut senagai pertanda kerabat ataupun keluarga dekat akan meninggal maka mereka memutuskan untuk menurunkannya lebih rapat di tanah biar tidak terdengar bunyi. Hingga saat ini bunyinya sudah sayup sayup bahkan menghilang karena ditumbuhi rerumputan dan tidak terawat.
Ada banyak batu misterius yang ada di kampung ini yang butuh di gali lebih dalam dan waktu yang panjang.
****
Sumber: Opa Darius Juwa,Opa Rafael, Kak Gusti, Lusy dan bapak mama warga kampung Liti.
No comments:
Post a Comment