Kisah Menganyam Jiwa dari daun Gebang

"Kopi yang ada pohonnya e... Kalau yang ada tugu mama tidak mau",kata mama Fransiska ketika saya menawarkan untuk dibuatkan segelas kopi. 
Awalnya saya bingung tapi setelah dijelaskan oleh mama Betran saya baru "ngeh", ternyata kopi yang beredar di pasaran seputar kecamatan Riung itu bukan kopi Arabika Bajawa yang sudah mendunia sejak beberapa tahun lalu ini. Tapi kopi yang ada tugunya.   Aih,  Saya boleh bangga dengan AFB yang sudah banyak dikenal dunia luar tapi ternyata saudara saya yang domisili di kecamatan tentangga belum sepenuhnya tau tentang AFB.  Mestinya sih, fokus penyebaran produk lokal ini merata dulu disegala penjuru kabupaten dengan kemasan yang menjadi brand khusus sebagai andalan. Eh malah dibiarkan punya brand masing masing, alih alih sedikit membingungkan konsumen luar.  Ini pendapat saya sih 😉😉.
Kita kembali lagi ke kisah mama Fransiska.  Saya ingin mengisahkan sedikit tentang 40 menit saya duduk bersamanya di dapur yang bersebalahan dengan muara tempat tinggalnya dinosaurus terakhir spesies khusus asli Riung. - Mr. Mbou namanya. ( Banyak orang belum mengenal sih,  karena menurut saya tidak diperhatikan secara khusus).

Pagi itu,  mama Fransiska datang ke Eco Eden membawa beberapa buah keranjang anyam dari daun Gebang dengan berbagai ukuran.  Niatnya untuk bertemu pemilik Eco Eden, namun karena tertarik dengan barang bawaannya saya menghadang dia untuk duduk di dapur sambil menikmati kopi.
Kami berkenalan dan berbicara panjang lebar tentang urusan ibu ibu dapur.  Awalnya,  biasanya saja. Tapi setelah mendengar cerita spesifiknya tentang latarbelakang kehidupan ekonomi juga rumah tanggannya,  saya jadi merasa perlu menulis tentang ini meskipun bahasa yang saya gunakan tidak semenarik para pencerita lainnya.  
Mama Fransiska Dhema begitu nama lengkapnya.  Wanita ini berusia 60 tahun bertahan hidup dengan mengayam keranjang dari daun Gebang.  Hasil anyaman dijual dengan harga yang relatif murah ini juga digunakan untuk menghidupi adik iparnya yang sedikit mengalami keterbelakangan mental. Dirumah sederhana berdinding bambu dan berlantai tanah,  mereka hidup berdua saja.  Suaminya telah lama meninggal,  sedangkan ke enam anaknya tinggal diluar pulau Flores demi menyambung hidup. 
Beruntungnya,  di tahun 2020 ini,  dirinya mendapat sumbangan dana desa untuk perehaban rumah senilai 17,5 juta. Sehingga bisa meringankan beban penderitaannya di kala hujan karena atap rumahnya sudah mulai bocor. 
Kesehariannya menganyam Kombu, ( keranjang dengan  berbagai ukuran), sape ( tas samping untuk pria)  Nendos ( tas untuk wanita). Ketiga jenis anyaman tersebut adalah tas tradisional khas Riung namun dikalangan orang Riung sendiri  sudah tidak populer. 
Selain sudah sangat sedikit orang yang giat menganyam,  juga saingan pasar modern telah menggeser posisi anyaman lokal, hingga tertelan bumi dan menghilang.  
                    Fransisika dan Philip

Kisaran harga Kombu dengan diameter 40,tinggi 30 dikenai harga 30 ribu rupiah,  Sape harganya standar 100 ribu rupiah,  dan Nendos harganya 50 ribu rupiah.  Semuanya terbuat dari daun Gebang. 
Menurut mama Fransisika, untuk menghasilkan sebuah anyaman dibutuh waktu sehari bahkan lebih. Karena anyam itu  mengerjakan dengan  hati juga harus fokus.
Kafe Eco Eden

" Membuat anyaman ini mesti tabah,  mulai dari mengambil daun Gebang,  merangkainya menjadi sebuah karya itu butuh perhatian khusus dan hatimu juga harus ikut menggenggam setiap lembar daun,  karena kau tidak hanya menganyam daun tapi kau menganyam jiwa dan membentuk karakter dari tradisi yang kau jalani, "Katanya dengan tatapan tajam. 
Kata -kata ini seperti tersirat sebuah makna mendalam bahwa sebagai anak kampung yang tinggal di kampung dan menjalani ritual tradisi leluruh harus mempertahankan semua kearifan lokal.  Dan mama Fransiska sedang menjalani proses mempertahankan kearifan lokal dalam bidang menganyam ini.  

Selain mama Fransiska,  masih ada beberapa ibu lainnya yang jumlahnya tidak lebih dari lima orang yang juga sedang menekuni anyaman ini.  Selain mereka tidak ada lagi. Bahkan orang mudapun pernah ditawarkan untuk berlatih tapi rupanya menjadi pengrajin anyaman ini sudah tergeser posisi dengan youtuber dan kawan kawan lainnya. 
Ketika ditanya harapannya, mama Fransiska tidak menginginkan kehidupannya menjadi sejahtera sebagai pengarjin anyaman daun tapi dia sangat ingin agar kearifan lokal ini tidak punah dan terus terjaga hingga generasi berikutnya, karena baginya mempertahankan kearifan loka berarti menjaga relasi dengan alam. 
Sementara itu,  Philipus Neri pemilik penginapan Eco Eden Flores mengatakan dirinya sangat tertarik dengan anyaman tangan mama Fransiska karena selain alamiah namun sangat rapih dan eksotis.  
" Saya secara pribadi sangat menyukai hal hal yang berbau alamiah,  sehingga siapapun yang menjual karya dari alam saya akan membelinya karena itu sebagai bentuk dukungan saya terhadap pelestarian alam dan kearifan lokal"katanya.
Semoga saja kedepannya banyak orang muda Riung yang menjadi pengrajin Anyaman.  

Mama Fransiska ini tinggal di Dusun Watulajar 01 Desa Lengkosambi Utara - Riung - Ngada Flores. 

Salam Hangat, 
Mertin Lusi
14/03/2020

No comments:

Post a Comment

Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua

  Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...