Asal Mula Ritual Reba Langa versi Opa Nikolaus Paru Menge

Cerita ini berasal dari Langa yang merupakan bagian  dari etnik Ngada. Ngada juga merupakan nama sebuah kabupaten yang terdapat di pulau Flores - NTT. Disetiap subetnik mempunyai ritual syukuran panen yang selalu diperingati setiap tahunnya. Hampir sama dengan subetnik lainnya,  Langa memiliki ritual syukuran panen yang dinamai upacara REBA yang selalu diperingati selama kurang lebih 5  hari dan yang dimulai pada tanggal 14 Januari setiap tahunnya. Konon, peringatan REBA ini awal mulanya dicetus oleh seorang lelaki yang bernama SILI, sehingga setiap rangkaian upacara REBA para tetua adat selalu menyebut " SILI ana wunga da nuka pera gua" ( SILIlah orang pertama yang mengajarkan cara bercocok tanam).

Pada masa itu,  wilayah Langa hanyalah  padang rumput yang subur. Tidak ada jenis tanaman yang dapat dikonsumsi. Masyarakatnya juga  belum mengenal bercocok tanam dan hidupnyapun berpindah-pindah,  sehingga  hanya mengkonsumsi ubi-ubian dan sayur-sayuran yang diperoleh di hutan.
 SILI merupakan anak kandung dari seorang pengembara asal India pedalaman yang bernama BAWA RANI. Sebelum SILI dan ketiga saudara kandungnya dilahirkan, Bawa Rani sang Ayah pernah menjadi raja dipulau Jawa. Bawa Rani adalah sosok lelaki yang gagah perkasa. Saat tiba di pulau Jawa, Bawa Rani mendapati sekumpulan masyarakat  sedang dalam masa peperangan. Melihat kondisi yang demikian sulit dan semakin bertambah korban jiwa setiap harinya, Bawa Rani pun mencoba menolong semampunya. Karena kegigihannya, akhirnya musuh dapat dipukul mundur. Sebagai ucapan terimakasih, masyarakat pada masa itu mengangkat Bawa Rani sebagai Raja. Kerajaan yang diperintahnya diberi nama Majapahi.
Pada masa pemerintahannya, kerajaan Majapahi dipengaruhi oleh kebiasaan gaya hidup masyarakat di tempat kelahirannya yakni India Pedalaman yang menganut kepercayaan Dinamisme. Merasa cukup lama menetap di Jawa, akhirnya Bawa Ranipun meninggalkan Kerajaan Majapahi dan melanjutkan perjalanan ke Bima. Setelah cukup lama di Bima, iapun melanjutkan lagi ke Wio ( pulau Sumba). Perjalanan dilanjutkan lagi menuju Wae Meze ( Flores). Di tempat inilah Bawa Rani menemukan pujaan hatinya yang bernama Moi Nari. Pada masa itu, kecantikan bukanlah suatu hal utama untuk menjadi seorang istri, melainkan seorang wanita di anggap pantas menjadi istri karena rajin bekerja.
Untuk menyambung hidup, mereka harus berburu dan meramu. Selain itu pula sesekali berdagang ke pulau Sumba ( Wio). Berdagang saat itu dengan cara Barter atau menukarkan barang dari wae Meze dengan barang dari Wio. Sili dan ketiga saudaranya membantu ayahnya untuk mengumpulkan buah-buahan hutan, kayu manis dan rempah-rempah lainnya untuk ditukarkan dengan kain, bahan makanan dan obat-obatan dari Wio.
Adalah seorang Dukun beranak bernama Ulu dan kedua temannya Dhake dan Sipa. Ketiga orang ini juga merupakan penduduk Wae Meze, namun tujuannya bukan untuk berdagang. Dhake yang memiliki fisik tinggi besar ini juga terkenal pekerja keras. Ia  menuju Wio untuk mendapatkan upah dari jasa mengangkut beban dan kayu.  Sedangkan Sipa merupakan kaki tangan dari Ulu yang adalah seorang dukun beranak yang sangat terkenal. Dari hasil menjadi dukun beranak, Ulu dan Sipa berhasil membawa pulang Bubuk Emas dan kain  pemberian masyarakat Wio, sedangkan Bawa Rani dan keempat anaknya membawa kain  sarung, obat-obatan dan bahan makanan lainnya. Setelah semuanya selesai, Bawa Rani dan keempat anaknya menunggu penduduk Wae Meze yang lainnya di tempat yang telah dijanjikan. Sebelum meninggalkan Wio, semua mereka berkumpul untuk duduk makan bersama dan saling mengevaluasi diri selama berada  di Wio. Upacara ini dipimpin oleh Bawa Rani dengan cara memberikan sesajen berupa ubi bakar pada sebuah batu yang dibuat sebagai altar atau mesbah persembahan.  ucapan rasa syukur ini disampaikan  kepada sang pemilik langit dan bumi. Hal ini selalu dilakukan setiap mereka hendak pulang menuju ke Wae Meze.
Dalam perjalanan pulang sambil mendayung sampan,  Sili bertanya kepada ayahnya. " Bapak, apakah hidup kita ini akan terus begini"?
"Ia nak, kita akan selalu berjuang untuk mendapatkan apa saja agar kita tetap hidup. Kita harus berusaha mendapatkan hasil bumi yang terdapat di hutan. Selain itu pula kita juga harus selalu bersyukur dengan apa yang telah kita peroleh hari ini", jawab Bawa Rani.
Diskusi semakin panjang ketika ketiga saudaranya turut ambil bagian. Canda tawa juga  terdengar dari perahu  yang berada tidak jauh dari mereka.
Perjalanan yang cukup melelahkan diisi dengan beragam diskusi. Rupanya diskusi mereka didengar oleh sang pemilik langit dan bumi yang menjelma melalui  dua ekor Burung yakni  Rajawali dan Elang. Kedua ekor burung tersebut terbang melayang-layang diatas mereka.
"Sili, apakah engkau menginginkan hidupmu berubah?, tanya Rajawali. Mendengar namanya dipanggil, Silipun langsung menengadah ke langit.
Didapatinya seekor Rajawali dan Elang dapat berbicara. Semua mereka keheranan mendengar Burung Rajawali berbicara.
 Apakah engkau yang berbicara? Tanya Sili meyakinkan.
"Ya.. Kami yang berbicara kepadamu" kata Elang. Kedua ekor burung ini terbang mengiringi perjalanan Bawa Rani dan penduduk lainnya.
Mereka sangat kebingungan melihat apa yang terjadi.
" Baiklah Rajawali dan Elang, jika kalian adalah benar-benar pemilik langit dan bumi, dan penjelmaan leluhur kami, bantulah kami, dan buatlah sesuatu untuk kami", kata Bawa Rani sembari memohon.
Melihat kesungguhan Bawa Rani, Rajawali dan Elangpun menjadi iba.
Kedua ekor burung tersebutpun terbang menghilang.
 Beberapa saat kemudian kedua ekor burung itu kembali lagi dan terbang melayang-layang tepatnya diatas mereka.
Rajawali dan Elangpun langsung menjatuhkan beberapa batang jagung dan  Padi tepat pada masing-masing penduduk yang sedang dalam perjalanan. Pada masa itu, masyarakat belum mengenal jagung dan padi sehingga mereka kebingungan.
"Apakah ini?", Tanya Sili.
"Itu padi dan jagung...kamu harus menanam dan merawatnya sehingga pada saatnya kamu juga akan memanennya,"kata Rajawali.
Apakah ini akan merubah hidup kami? Sambung Bawarani.
Ya...jika kamu menjalankannya sesuai dengan apa yang kamu yakini, maka kamupun harus berusaha untuk sabar dan  tekun menjalaninya " jawab Rajawali. Masing-masing memperoleh setongkol jagung dan padi, namun hanya Sili yang mendapatkan juga sebuah Ubi yang namanya Uwi.
Sebelum menghilang, Rajawali dan Elang memastikan lagi semua mendapatkan bibit yang diberinya. Setibanya di Wae Meze, semua penduduk yang tinggal menjadi heboh dengan cerita dari Bawa Rani dan anak-anak serta Ulu dan kawan-kawannya.
Seperti biasa pada saat bangun pagi semua penduduk duduk santai sambil menikmati ubi bakar dan buah-buahan lainnya sambil menghangatkan badan dibawah sinar matahari.
Bawa Rani berpesan kepada anak-anaknya agar jagung dan padi yang dperolehnya harus disimpan ditempat yang aman sebagai warisan sang leluhur. "Kita semua adalah orang terpilih dan kita harus menyimpan semua pemberian dari Rajawali dan Elang dengan baik"Kata Bawa Rani.
 "Baik bapak.
Masing-masing menggunakan seruas bambu sebagai tempat yang aman untuk menyimpan jagung dan padi.
Tidak terkecuali Ulu, Sipa dan Dhake juga menyimpan Jagung dan Padi. Walaupun mendapatkan harta warisan yang lebih berupa ubi, namun Sili tidak pernah sombong.
Baik Bawa Rani maupun keempat anaknya masih sangat ragu untuk menggunakan pemberian dari kedua burung yang diyakini sebagai penjelmaan leluhur itu.
"Bapak, ini pemberian dari leluhur kita sebenaranya untuk apa? "Saya juga tidak tahu, mau diapakan pemberian ini, tapi kita tetap menyimpannya sampai tiba saatnya" kata Bawa Rani.
Hari semakin sore. Langit menjadi gelap dan terjadi hujan deras. Rumah yang beratapkan daun rumbia basah kuyub sehingga seisi rumah menjadi banjir. Bawa Rani sekeluarga tidak tidur malam itu. Mereka duduk mengelilingi tungku api untuk menghangatkan badan.
Sambil membakar ubi yang diperolehnya dari hutan, Bawa Rani bercerita tentang kehidupan masa kecilnya di India. Ketika sedang hanyut dalam cerita, tiba-tiba terdengar suara gemuruh datang dari arah barat.Lautan luas terbentang di sisi barat. Bersamaan dengan suara gemuruh, hujanpun berhenti.
 Serentak mereka berhamburan keluar rumah dan mendapati penduduk yang lain juga melakukan hal yang sama.
" Sepertinya suara itu datang dari laut dan kemungkinan dunia akan kiamat" teriak Bawa Rani. Bawa Rani mampu meramal hal-hal yang berkaitan dengan alam. Tanpa dikomando, semua mereka masuk kembali kedalam rumahnya masing-masing untuk mengambil barang-barang yang diperlu diselamatkan. Bawa Rani  dan keluarganya tidak lupa membawa serta harta pemberian Rajawali dan Elang.
Hiruk pikuk suasana menjadi tak terkendali. Ada yang sudah keluar dan setengah berlari namun kembali lagi kedalam rumah untuk mengambil barang-barang yang lupa. " Mari kita pergi tinggalkan tempat ini karena sebentar lagi akan terendam air" teriak Bawa Rani.
Bawa Rani menunjukkan arah bagi seluruh penduduk untuk menyelamatkan diri. Ke arah timur merupakan jalur yang ditempuh karena menuju  ke dataran tinggi yakni  Gunung Ata Ga'e.
Malam terasa sangat panjang ketika harus menyusuri hutan belantara yang penuh dengan binatang buas.
Rumah yang dibangun dengan penuh susah payah terpaksa ditinggalkan bersama bahan makanan lainnya yang tidak cukup tenaga untuk mengangkutnya. Menjelang matahari terbit, semua penduduk masih melanjutkan perjalanan. Setibanya di dataran yang cukup tinggi, tepanya di nua Ga’e semuapun beristirahat. Dipandangnya kearah barat, dan ternyata daerah yang mereka dirikan rumah telah terendam air laut. Meskipun kecewa, Bawa Rani tidak pernah putus asa. Ia selalu menyemangati istri dan anaknya untuk bangkit lagi.
Beberapa penduduk lainnya termasuk Sipa, Ulu dan Dhake tetap melanjutkan perjalanan untuk menemukan tempat yang cocok untuk bermalam. Sedangkan Bawa Rani dan keluarganya memilih untuk mencoba menetap di Nua Ga’e. Kehidupan baru telah dimulai. Bawa Rani dan keluarga harus menyesuaikan diri dengan hawa yang berbeda. Wae Meze merupakan daerah panas karena dekat dengan hawa laut sedangkan di tempat baru itu suhunya sangat dingin karena jauh dari laut.
Sili dan Saudaranyapun kembali membantu kedua orangtuanya untuk mendirikan rumah. Mereka mencari  alang-alang untuk dijadikan atap dan beberapa batang kayu sebagai penyanggah sekaligus dinding.
Untuk melindungi dari ancaman binatang buas, rumah didirikan lebih tinggi diatas permukaan tanah.
saat itu , Barang yang paling berharga bagi keluarga Bawa Rani adalah sarung di badan dan barang  pemberian Rajawali dan Elang serta  sebuah keris  yang dibawa BawaRani semenjak mulai pengembaraanya.
Selain Bawa Rani dan keluarga, beberapa penduduk yang lainnya juga mulai mendirikan rumah tidak jauh dari lokasi tersebut.
Pada masa itu penduduk setempat belum mengenal penanggalan bulan dan musim, sehingga mereka hanya menafsirkan secara alam berupa tanda-tanda yang ditampilkan di langit berupa posisi bulan maupun bintang, awan  dan beberapa tanda lainnya.
Sewaktu mulai menetap di kaki gunung Ata Ga’e, cuaca mulai berubah dimana terasa sangat dingin dimalam hari, dan panas disiang hari sehingga mereka menamainya sebagai musim Fange Ze’e. untuk penanggalan bulan dimasa sekarang, Fange Ze’e sama persisnya dengan keadaan alam  pada bulan Juli. Semua penduduk mengalami kelaparan karena cukup sulit untuk menemukan ubi maupun buah-buahan di hutan karena semua tanaman kering.
Bawa Rani mengajak anak-anaknya untuk berdagang. Mereka membawa sarung yang diperoleh dari Sumba untuk ditukarkan dengan bahan makanan di tempat lain.
Sili bertugas menjaga rumah dan ibunya.
Sili mulai memutuskan untuk menebang hutan untuk dijadikan lahan baru. Hutan yang baru ditebang dibiarkan menjadi kering untuk dibakar. Proses menunggu keringnya Ranting kayu yang ditebang memakan waktu cukup lama.
 Sambil menunggu ranting-ranting kayu kering dibawah sinar matahari,  Sili dn Ibunya mulai membenamkan didalam tanah,beberapa sisa ubi, yang diperoleh dari hutan untuk menjaga agar bahan makanan tidak habis. Sebab, ayah dan saudara-saudaranya tidak kunjung pulang.
Setelah melewati beberapa siang dan malam, akhirnya ubi tersebut mulai bertunas. Silipun mencoba memberanikan membenamkan Ubi yang dimilikinya itu. Meskipun tidak hujan, ubi yang ditanamnya tersebut akhirnya mulai mengeluarkan akar dan bertunas. Sili sangat gembira sekaligus penasaran untuk segera mengetahui akhir dari pertumbuhan Uwi. Hari bertambah hari ubi tersebut terus mengeluarkan daun- daun yang kian rimbun, tumbuh bercabang-cabang dan menjalar. Karena semakin panjang, Sili membuat tiang penyanggah agar cabang-cabangnya tidak menyentuh tanah.
Setelah cukup lama, awan hitampun mulai menyelimuti langit. Menurut penafsiran Bawa Rani bahwa akan segera turun hujan. Segeralah Sili dan ibunya  mengumpulkan ranting-ranting kayu yang ditebang untuk dibakar. Sili memberanikan  untuk membenamkan jagung dan padi yang merupakan pemberian Rajawali dan Elang.
Beberapa hari kemudian, tanaman tersebut mulai mengeluarkan akar dan bertumbuh. Hampir setiap tahap pertumbuhan  terus diawasi. Sili tidak sabar untuk segera menceritakan kepada ayah dan saudaranya.
Lahan yang dikelolanya dibagi menjadi beberapa bagian untuk jagung, padi, dan ubi. Musim berganti musim, terkadang beberapa musim dilalui Sili dan ibunya tanpa Bawa Rani dan ketiga saudaranya.  .
Suatu ketika, pada malam harinya, mereka memandang ke langit dan didapatinya  sebuah Bintang Berwarna merah yang dinamai ( Dala Wawi). Bintang tersebut akan muncul hanya pada saat-saat tertentu saja. Menurut keyakinan Bawa Rani di tempat asalnya di India, bahwa dengan munculnya Bintang berwarna Merah tersebut merupakan sebuah tanda bagi kehidupan manusia di bumi.
Diapun segera  mengajak ketiga anaknya,Doko, Du’a dan Dhingi untuk pulang setelah memperoleh Kelapa, Garam,Tebu, Ubi,Sayur dan Periuk yang terbuat dari tanah.
Perjalanan cukup jauh dan memakan waktu yang cukup lama.
Sesampainya di Wae Meze, Bawa Rani dan ketiga saudaranya keheranan melihat tanaman disekeliling rumah. Bukan lagi pepohonan dan semak belukar, namun mereka menjumpai tanaman lainnya yang dibagi dalam beberapa petak.
“ tanaman apakah ini? Tanya Bawa Rani kepada Istrinya.
Sili yang tidak mengetahui kedatangan ayah dan saudaranya langsung berlari menghampiri dan segera menceritakan  seluruh kegiatannya selama ayahnya tidak dirumah.
Ayah dan saudaranyapun turut bahagia mendengar cerita Sili.
Semua menjadi tidak sabar menunggu akhir dari tumbuhnya ketiga jenis tanaman tersebut.
Setiap hari selalu diawasi sambil menyiangi rumput liar. Perhatian benar- benar focus pada ketiga jenis tanaman itu.
Musim berganti, Bawa Rani dan keluarga sedikit heran karena ubi yang awalnya tumbuh subur, perlahan mulai mengering. Daun- daun yang berwarna kuning mulai berguguran.
Setelah menggalinya maka mengertilah mereka bahwa sudah saatnya ubi siap dipanen. Hasil ubi yang digali sangat banyak. Meskipun ubi yang ditanam hanya satu pohon, namun tidak pernah habis mereka menggalinya.
Sementara menggali ubi, padi dan jagungpun mulai kering. Saat itu mereka sibuk untuk memanen padi, jagung dan ubi.
Panenanpun melimpah. Ubi yang tidak pernah habis digali, dibiarkan begitu saja sehingga tumbuh tunas-tunas baru.
Bawa Rani kemudian mengajak istri dan anaknya untuk berkumpul. Semua mereka berterimakasih kepada Sili yang telah melakukan sesuatu yang baru. Usai rembuk bersama, akhirnya diputuskannya untuk merayakan panenan tersebut. Bawa Rani dan anak-anak  membuat Lesung dari sebatang pohon yang untuk menumbuk padi dan jagung.  Moi Nari sibuk mengupas ubi untuk direbus dan dibakar.
Setelah Ubi, Padi dan jagung dimasak, Bawa Rani sebagai kepala keluarga memimpin upacara syukuran tersebut.
Di ladang yang ditanami ketiga jenis tanaman tersebut, mereka memberikan sejumput nasi dan ubi yang disimpan diatas sebuah batu yang dijadikan altar persembahan. Hal ini dilakukan sebagai syukuran kepada pemilik tanah ( mori watu tana) yang terdapat diladang.
Di dalam rumah, mereka memberikan sejumput nasi dan ubi yang disimpan dalam piring ( Ngeme) dan mengundang  arwah leluhur untuk hadir makan bersama mereka.
Setelah semua ritual dibuat, merekapun makan bersama dan selanjutnya mengevaluasi diri untuk mengisi hidup di hari-hari selanjutnya.
Dari kumpul bersama tersebut, mereka sepakat untuk bergotong royong membuka lahan baru untuk memperluas ladang.
Ladang semakin luas, bibit padi dan jagung yang dimiliki Bawa Rani dan saudaranya diambil dan ditambahkan dengan  bibit dari hasil pertama    untuk dikembangkan dilahan baru.
Semakin luaslah ladang milik Bawa Rani sekeluarga.
Pada panenan yang kedua, mereka memutuskan untuk mengundang seluruh penduduk dimana saja berada untuk turut ambil bagian dalam perayaan syukuran tersebut.
Pada hari yang ditentukan, tepatnya pada saat panen ubi yang jatuh pada Musim Reba dan dalam kalender masehi jatuh pada bulan Januari. Semua penduduk berdatangan. Makan bersama dan menari bersama. Disela-sela makan dan menari, Bawa Rani menceritakan apa yang mereka alami. Sebelum seluruh penduduk kembali, Bawa Rani dan keluarga membagi-bagikan bibit dan berpesan agar setiap panenan harus diawali dengan membuat ritual syukuran seperti yang diajarkannya. Semua penduduk mengikuti pesan Bawa Rani. Mereka mulai membuka lahan untuk bercocok tanam dan kemudian menetapkan waktu untuk mengadakan syukuran yang dipimpin oleh Bawa Rani.
Pesan Bawa Rani dituruti oleh semua penduduk. Perlahan-lahan, baik Bawa Rani maupun penduduk lainnya mulai membuka lahan hingga wilayah Langa. Ternyata
Wilayah Langa sangat subur dan letak geografisnya sangat rata sehingga merekapun memilih untuk menetap di wilayah Langa ( sekarang masuk wilayah Kecamatan Bajawa - kabupaten Ngada-NTT ).
Musim Reba merupakan saatnya bagi penduduk untuk memanen Ubi. Para pendudukpun memutuskan untuk memperingati syukuran hasil panen pada musim panen ubi. Segala persiapan dilakukan. Bawa Rani sekeluarga yang memulai terdahulu pada hari pertama dengan cara memberikan sesajen berupa ubi, nasi, dan tuak di Loka ( tempat yang dijadikan altar persembahan untuk mengundang leluhur), kemudian diikuti oleh seluruh penduduk.
Pada malam harinya, penduduk yang berdomisili diluar wilayah Langa dan masih memiliki kekerabatan dengan masyarakat yang ada di wilayah Langa mulai berdatangan membawa serta hasil panen yang dimiliki untuk turut merayakan syukuran panen tersebut.
Malam pembukaan diawali dengan makan dan minum bersama yang dilanjutkan dengan sharing bersama tentang situasi yang dialami selama satu tahun. Pada malam berikutnya dilanjutkan dengan evaluasi bersama tentang tindakan, tutur kata maupun perilaku yang dilakukan selama hidup  dalam keluarga maupun bermasyarakat, kemudian dilanjutkan dengan rencana tindak lanjut yang ingin dicapai pada hari – hari selanjutnya. Selama upacara syukuran panen ini berlangsung, semua penduduk tidak diperkenankan untuk bekerja namun hanya makan, minum dan menari bersama.
Hingga kini perayaan ritual adat Reba  Langa selalu diperingati selama kurang lebih 5 hari yang diawali dengan perayaan inkulturasi setiap tanggal 15 Januari setiap tahunnya. Perayaan ini mampu menarik minat wisatawan lokal maupun Mancanegara setiap tahunnya, karena saat itu para tamu dijamu layaknya seorang raja.


Penulis  : Mertin Lusi
Contact : 085216932429 / isilanga88@gmail.com
Narasumber   : Nikolaus Paru Menge dan Istri
 Penulis merupakan keturunan LA ( Langa Asli ). Bapak dari kampung Bomuzi dan Mama dari kampung Bomari. Saat ini bekerja untuk jaga kampung dan menetap di Bomari. Cerita ini diperolehnya saat mewawancarai bapak Nikolaus Paru Menge di sa’o Majapahi kampung Bonewaru,  Pada Juni 2015 lalu selain utnuk mendokumentasikan dalam seuah cerita, juga sebagai bahan lomba bagi penulis dalam kompetisi  Cerita Rakyat Indonesia tahun 2015 .  Bagi penulis, Sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja melainkan perlu dilestarikan. Dengan membuatnya dalam bentuk cerita, minimal bisa memudahkan pemahaman anak jaman now tentang sekilas Ritual Reba Langa yang selalu dijalankan setiap tahunnya. Minimal mulai sekarang anak – anak tidak hanya memahaminya sebagai makan minum dan menari melainkan bisa mengambil dan mempelajari nilai dari Ritual Reba itu sendiri. Mohon dikoreksi apabila ada kesalahan dalam penulisan in
i untuk penyempurnaan cerita ini. Mari kita memulai lagi karena kita baru melakukan sedikit.
*****

4 comments:

Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua

  Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...