Watu Lewe batu Tinggi di Wolomeze

 Watu Lewe, keajaiban Tuhan yang tersembunyi di dusun Nggurununca desa Tura Loa kecamatan Wolomeze. 


Biasanya,  kita menjumpai batu dengan ukuran yang cukup di jangkau,  tapi batu yang satu ini berada si bibir tebing dengan ukuran yang sangat besar.  


Orang Tura Loa menyebutnya Watu Lewe (Batu Tinggi). Menurut cerita turun temurun dari  para leluhur desa Tura Loa bahwa batu ini milik suku Copi dan batu yang tingginya belasan meter itu bukan asli ditempat tersebut melainkan datang dari pantai selatan atau saat ini wilayah kecamatan Aimere dalam bentuk gumpalan awan hitam dan berhenti di watujaji kemudian berpindah bergeser ke arah utara lalu menetap persis di perbatasan antara Wolomeze dan Riung.  


Dari kejauhan, kita bisa melihat batu tersebut mirip sebuah bukit yang tinggi. Dari pusat kantor desa Tura Loa menuju tempat tersebut bisa ditempuh sekitar 20 menit dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun empat karena jalan menuju tempat ini sudah beraspal. Dari Watu Lewe ini kita bisa melihat pemandangan laut utara dan pulau-pulau di kecamatan Riung juga sebagian kabupaten Nagekeo. 


Untuk dokumentasi tempat ini secara utuh harus menggunakan drone karena tempat ini tidak cukup aman karena letaknya persis di bibir jurang. 


Menurut cerita dari warga yang kami jumpai, batu itu pernah didokumentasikan oleh salah satu wisatawan asing namun ketika dicetak hasilnya menjadi sangat berbeda dengan rupa aslinya dan bahkan sebagiannya tidak kelihatan.


Gendang Kulit Manusia

Tidak jauh dari batu tersebut terdapat sebuah gua yang menyimpan dua buah gendang yang terbuat dari kulit manusia. Gua tersebut bernama Kipo Liang atau lubang landak. 


Dari cerita yang ada, gendang tersebut didatangkan dari Goa Sulawesi Selatan. 
Pada mulanya hanya sebuah gendang saja yang dibawa ke Flores namun beberapa saat kemudian salah satu gendang yang lainnya ditemukan lagi di tepi pantai utara oleh salah satu nelayan yang berasal dari Tura Loa. 
Dulu,  leluhur orang Tura Loa merupakan pelaut, yang keseharian bekerja sebagai nelayan. Namun karena sudah mengenal dunia pertanian,  profesi sebagai nelayan perlahan ditinggalkan hingga saat ini. 

Gendang yang terbuat dari kulit manusia tersebut namanya Raja Bheo dan Nggali Aur. 
Pada masa itu gendang tersebut pernah dibunyikan pada upacara Paras di Malabay Mulu Boabaring.  Ketika gendang dibunyikan,  suaranya terdengar sampai ke utara. Suara itu kemudian diikuti oleh orang-orang yang memiliki tradisi tandak / menari. Mereka terus bergerak mencari sumber suara. 


 Semakin lama,  gendang tersebut mulai rusak kemudian pemiliknya berinisiatif menggantikannya dengan kulit kambing.  Pada suatu ketika,  pemilik gendang tersebut bermimpi didatangi oleh seseorang yang meminta untuk memindahkan dua gendang tersebut ke salah satu gua yang ada. Dan akhirnya gendang tersebuy di pindahkan ke gua hingga saat ini.


 Gendang tersebut tidak semua orang boleh melihat atau menyentuhnya karena bisa saja berakibat fatal bagi warga seperti bencana alam. Sehingga Gua tersebut tidak buka untuk umum. 



Jualan Buah dan Sayur untuk bayar uang sekolah



Fani, anak usia 13 tahun kelahiran Ngoranale kecamatan Bajawa ini dengan penuh kehangatan menyapa kami diruang kerja sambil membawa satu tas berisi buah Terung Belanda. Dia menawarkan kepada kami jualannya tersebut. Sejenak seisi tas diserbu oleh semua dosen dan pegawai.  Habis.  Yah,  buah yang ditawarkan Fani sungguh sangat menggoda karena warnanya juga buah ini cukup jarang dijumpai karena jarang ada petani yang secara fokus menanamnya. Buah ini hanya tumbuh subur di sela pohon kopi. 



Usai transaksi jual beli, kami semua spontan minta foto bersamanya. Rupanya dalam hati kami semua menyimpan tanya yang sama tentang sosok Fani. 
Anak dari pasangan Martinus dan Antonia ini ternyata telah memulai jualan sejak duduk dibangku kelas 5 SD.  Dia mengaku dengan senang hati berjualan usai jam sekolah. 

"Saya usai pulang sekolah pasti keliling setiap kantot atau tempat untuk menawarkan jualan seperti Sayur, Buah, lombok dan lainnya.  Barang jualan ini dititipkan oleh tetangga dan saya jual untuk dapat hasil bagi dua, "katanya. 


Setiap jualan ke wilayah kota dan perkantoran, Anak ketiga dari 7 bersaudara ini harus numpang ojek dengan biaya pulang pergi Rp. 20.000.

Kadang jualannya tidak habis dan keuntungannya hanya habis untuk membayar ojek. 
Memang cukup miris mendengar kisah dari Fani ini. 
Dia harus bekerja jualan apa saja untuk bantu orang tuanya. 
" Saya harus kerja kak,  karena bapak dan mama hanya petani,setiap hari harus kerja apa saja untuk bisa beli beras untuk kami. Apalagi sekarang mama sering sakit-sakitan dan tidak bisa kerja lagi. Saya harus bantu mereka untuk bayar uang sekolah atau beli beras kak, "katanya. 
Cerita Fani ini tentu sangat kontras dengan kehidupan anak remaja seusianya di zaman ini. Ketika semua merengek minta beli pulsa data untuk main tik tok ataupun game online tapi Fani harus jalan kaki keliling untuk menawarkan jualan. 
Fani harus memikirkan hari ini harus makan apa tapi diseberang yang lain ada yang tidak mau makan karena lauknya terasa kurang enak. 
Terimakasih Fani,  untuk ceritamu yang menginspirasi kami semua. Semoga Tuhan memberkati keluargamu. 

Stiper Flores Bajawa 05/02/2022

Salam hangat. 



Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua

  Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...