Langit biru tanpa sebercak awan putih. Matahari mulai condong ke barat namun hawa panas seperti layaknya berada di Aimere. Padahal kaki kami berpijak di Langa.
Hanya beberapa menit berdiskusi, 3 lelaki usia pas kawin ini memutuskan untuk mengunjungi lokasi wisata air terjun yang sempat mereka lihat di grup medsos. Postingan orang tak dikenal,sebuah gambar Air Terjun dengan jembatan batu tanpa editan. Asli. Postingan itu hanya menyebutkan nama desa dimana gambar itu diambil. Desa Were 1- Kecamatan Golewa Tengah - Ngada. Itu beberapa bulan yang lalu.
Tanpa kompromi, mereka menyeret saya untuk bergabung dalam tim dadakan ini. Tanpa bekal. Bermodalkan Nekat, dan penasaran. Kami berempat ( Mertin, Fan, Ivan dan Wili) melaju dengan sepeda motor dengan perasaan tak sabar segera tiba.
Masuk wilayah Mataloko, kabut tebal menyambut kami dari kejauhan. Perasaan berubah seketika. Antara ingin melanjutkan atau balik pulang. Konon, para leluhur sangat percaya kalau awan turun ke bumi pertanda ada jiwa jiwa yang lainnya juga turut serta, sehingga mahluk apapun yang bisa bernafas yang berjumpa langsung pasti hidupnya tidak akan lama. Dan keyakinan itu diturunkan lurus kepada kami.
Kali ini, kami berusaha mematahkan itu dengan harapan awan tidak ada disekitar lokasi tujuan.
Beberapa kali, kami berhenti sejenak menanyakan alamat kepada orang yang dijumpai di jalan. Alamat yang diberikan bukan alamat palsu. Orang -orang disana dan Ngada umumnya masih memiliki hati yang sempurna. Tulus itu nampak dari senyuman mereka.
Di ujung jalan dusun Woewali, kami disambut beberapa warga dengan sangat ramah. Bergantian mereka menjelaskan tentang lokasi dan jalur tempuh.
"Harus ada anak anak disini yang antar kalian, jangan pergi sendiri e"
Kalimat ini selalu sama dari setiap mereka.
Ada rasa haru dalam hati. Diperlakukan dengan tulus tanpa memandang siapa kami.
Langit diatas desa Were I ini nampak bersih dan cerah, ini sinyal dari alam bahwa kami diijinkan untuk sampai ke lokasi tujuan.
Setelah berkompromi, tim kami bertambah menjadi 9 orang. Saya satu satunya perempuan di tim ini. Kami ditemani 4 anak usia SMP dan juga Son Bao pemuda asli dusun Woewali. Dusun yang wilayahnya mencakup lokasi air terjuna tujuan kami.
Hampir sama dengan jalur -jalur biasanya yang menuju air terjun yang pernah kami tempuh. Pasti menurun menyusuri lereng tebing dan sesekali melintasi jalur aliran air.
Jalur kali ini, tidak semudah menuju Air Terjun Ogi, dan tidak seekstrim menuju Air Terjun Ngabatata di Nagekeo juga Sembilan air terjun di Langa.
Waktu tempuh dari kompleks rumah warga hanya 10 menit jalan santai sambil bercerita. Dan menurun sekitar lima menit melewati kebun kacang dan wortel milik warga dusun setempat. Dan dalam perjalanan kurang lebih 15 menit ini, kita sudah langsung bisa mendengar suara gemuruh air yang jatuh menabrak bebatuan.
Dalam bahasa daerah Bajawa Air terjun =Soa.
Di perhentian pertama, kita akan disuguhi pemandangan indah Soa Soro. Dengan ketinggian kurang lebih 80 meter. Disekitar air terjun ini tumbuh banyak bunga anggrek berwarna ungu. Ada yang menempel di bebatuan, juga bergantungan di pohon. Perjalanan kami lanjutkan dengan menyusuri jalur air dari Soa Soro ke arah timur.
Jalur ini punya sensasi loncat indah, kalau seandainya kaki dipasang dengan alat bantu loncat vertikal. Namun tidak disarankan untuk dimusim hujan, karena permukaan batu lebih licin dari biasanya.
Mata juga harus lebih jeli melihat batu yang akan menjadi pijakan kaki. Bila tidak, pengalaman saya akan kamu ulangi. Saya sempat kehilangan kendali saat akan melewati sebuah batu besar nan tinggi. Dalam hati, saya sangat yakin bisa melompatinya namun ternyata kurang beberapa sentimeter saja. Tentu bisa dibayangkan kan... 😃.
Belok kiri, belok kanan. Awas lubang,loncat sedikit, rentangkan tangan untuk keseimbangan. Sesekali niat untuk menceburkan diri dalam air itu sangat tinggi. Air sangat jernih,tanpa sampah plastik mengalir dengan bebasnya.
Sekitar 10 menit, kami menjumpai air terjun kedua namanya Soa Wawi. Tingginya sekitar 7 meter dan direkomendasikan sebagai tempat mandi. Kolam alamiahnya membentuk lingkaran dengan warna hijau menyelimuti dinding batu.
Dan dari Soa Wawi, sejauh lemparan batu orang dewasa kami diberitahu kalau itu lokasi air terjun Padha Watu. Kamipun bergegas kesana menyusuri jalur air mengalir.
Jalur ini tidak kalah menarik juga. Kami harus melewati sebuah terowongan selebar tubuh pria dewasa. Terowongan ini bersambungan langsung dengan mata air Soa Padha Watu.
Padha Watu= Jembatan Batu
Soa Padha Watu ini tingginya hanya sekitar 5 meter namun mengalir membentuk beberapa tingkatan dan didepannya terbentang jembatan batu alamiah.
Batu ini tersabung dari kedua sisi membentuk sebuah jembatan kecil. Dibagian bawahnya terdapat rongga yang menjadi tempat menempelnya sarang burung. Dan bagian depannya sebuah kolam kecil berbentuk lingkaran sangat cocok untuk jadi tempat pemandian.
Setelah mengambil gambar dan istirahat sejenak, kamipun kembali pulang.
Sambil menyeruput kopi Son yang juga Ketua Orang Muda Katolik Paroki Keluarga Kudus Nazaret Were ini, bercerita kalau pihaknya bersama orang muda dan warga dusun setempat telah berencana untuk mengembangkan potensi yang ada. Namun butuh banyak dukungan dari semua pihak untuk bisa merealisasikannya.
Tenyata setelah air Terjun Padha Watu ini, masih ada air terjun lainnya yang tidak kalah indah dengan jalur berupa tangga batu alamiah. Konon, tangga itu dibuat oleh seorang raksasa bernama Dhake. Dan sebelum mata air terjun Soa Soro, ada juga air terjun yang namanya Roba me Dhake. Atau air terjun ini dinamai karena Dhake pernah jatuh ditempat itu.
Saya jadi ingat, kalau di kampung Bena itu ada legenda tentang Dhake dan juga masih ada jejak kaki dari Raksasa yang bernama Dhake ini.
Sepertinya banyak hal yang saling berkaitan namun cukup rumit untuk dibedah.
PR besar bagi saya dan kita semua.
Tima tii woso Son, semoga ada banyak pihak yang punya hati tergerak untuk sama sama memikirkan niat baikmu dan warga dusun Woewali.
Tima tii woso untuk Os, Orin, bapak, mama dan teman teman orang muda di Woewali.
Terimakasih semesta...
Isi Langa Loza ge Rapa Ngeda.
Salam hormat,
Mertin
Aku hanya ingin Hidup Dan tak ingin Kaya Aku ingin melihat banyak Tempat Mendengar banyak suara Dan menghirup banyak Bau Kehidupan. Alangkah mengerikan terpenjara dalam satu Tempat,karena sangat menjemukan. Aku mesti pindah tempat setiap saat, Meski cuma selangkah, Tak ada yang lebih dan tidak Kurang Aku Perempuan.... Meski banyak suara berbondong
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua
Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...
-
Maria Octaviana Moi asal Bajawa terpilih menjadi Puteri Pendidikan Propinsi NTT 2023. Maria Octaviana Moi kelahiran 29 Oktober 2003, asal d...
-
Toa Kaba neku RD.Lukas Nong Baba siap dilaksanakan Rabu 22 Januari 2020. Foto : Rapat DPP Paroki Langa DPP Paroki Langa...
-
Kampung adat merupakan sebuah wilayah desa yang masih menjaga dengan baik warisan leluhur. Melalui kampung adat ini, kita dapat mempelaja...
No comments:
Post a Comment