Gila... Jalur trekking Langagedha-Wolokoro

Jam tujuh tepat kita sudah mulai. Demikian bunyi pesan yang dikirim salah satu anggota komunitas trekking Langa.
Dan sebelum jam itu,  kami berempat sudah tiba dilokasi. Titik kumpul di kantor Desa Langagedha. Dua jam kemudian baru mulai berdatangan anggota lainnya. Setelah melewati pertemua singkat bersama pimpinan desa juga bidang destinasi wisata Dinspar Ngada, kami mulai bergerak melewati perkampungan Langagedha.  Di ujung kampung sebelum berbelok keluar menuju hutan,  ada sebuah pagar bambu yang dianyam dengan tinggi sekitar 10 meter dan lebar 8 meter. Ini menurut warga setempat merupakan pagar pembatas untuk mengusir hama. Setiap bulan Juni akan diadakan ritual "Sepa Api Doko". Belahan pagar bambu tersebut dibakar ditengah kampung Langagedha.  Setelah menjadi arang,semua lelaki yang hadir wajib menendang layaknya sebuah bola.  Ritual ini tidak diperbolehkan untuk wanita, sehingga saya yang menulispun tidak begitu tau detail situasi dilokasi karena tidak diperbolehkan untuk saya. Dan kalaupun saya bisa melihat ini jika saya sudah melewati fase ( berhenti haid).  Aih, masih sangat lama le 🙆🙆. Bagian ini nanti di cerita yang berikutnya atau akan saya tulis detail setelah saya berhenti di satu fase itu. 😆

Kembali ke perjalanan yang tadi. Keluar dari kampung Langagedha melewati kampung Bokolo,langsung bertemu jalan setapak yang menghubungkan kesebuah perkampungan baru yang diberi nama kampung Surlo. Kampung baru ini untuk sementara baru dihuni oleh dua kepala keluarga bernama Suri dan Logo sehinggga Surlo itu berasal dari Suri Logo. Nama ini katanya diberikan dan disahkan tanpa surat oleh warga Langagedha.

Disepanjang jalan melewati kampung Surlo ini, terdapat beberapa lokasi sakral yang biasa digunakan untuk upacara adat.  Masyarakat suku di Langagedha merupakan pemegang adat utama di Langa secara keseluruhan. Sehingga ada beberapa ritual adat yang harus mereka memulai lebih awal kemudian yang lainnya mengikuti.


Selain  tempat ritual adat,  pemandangan alam berupa barisan bukit berjejer disekitar lembah yang ditumbuhi sayur kangkung,selada,paku dan Leda.  Disini bisa menjadi titik pemandangan untuk matahari terbenam dan kearah selatan ada pemandangan bukit dan gunung Inerie. Perjalanan masih ditempuh dengan ringan dan santai. Jalan tanahpun sudah diperlebar sehingga kendaraan roda dua bisa melaju dengan cepat. Hampir disetiap tikungan pasti ada pahatan alam yang berbeda pula.
30 menit berlalu. Jalur tempuh perlahan mulai menurun. Semakin menurun. Melewati kebun sayur kangkung.  Jalur warga selesai disitu. Selanjutnya jalur kami yang atur sendiri.  Berlawanan arah, kami menyusuri jalur sepanjang aliran sungai. Tepat dibawah pohon jambu air,  sebuah sumber mata air panas dengan kolam selebar ember pakaian dirumah. Tanpa bau belerang sebagaimana biasanya air panas. Tidak jauh dari tempat itu,  ada juga beberapa buah sumber air panas dengan ukuran kolam melingkar alamiah,selebar lingkaran tangan orang dewasa. Kami menyempatkan untuk membasuh wajah dengan air panas yang menurut warga Langagedha disebut Wae Bua.
Segar rasanya. Air terjun Wae Selo dengan ketinggian sekitar 7 meter berada dekat kami. Ini destinasi wisata indah yang perlu sesegera mungkin dikembangkan.

Berbagai impian tentang pengembangan lokasi ini, hingga jalur tempuh yang nyaman bagi pengunjungpun kami diskusikan secara lepas. Apalagi dalam tim kami kali ini juga termasuk Kepala Desa Langagedha. Kami yakin beliau mencatat semua perbincangan ringan hingga berat ini.
Perjalanan dilanjutkan ke arah barat, beberapa menit kemudian kami menjumpai sebuah kolam besar berbentuk lingakaran alami. Namanya Tiwu Kako.  Ini sangat cocok untuk berenang, namun tidak dianjurkan untuk berenang dimusim hujan karena debit airnya akan sangat meningkat dan cukup berbahaya.
Ke arah kanan,  kami melewati hutan kaliandra dan ampupu. Jalurnya sangat menanjak. Butuh banyak energi untuk mendaki. Dipuncak bukit, padang savana terhampar luas. Matahari tepat diatas kepala. Panas. Tanpa pohon. Titik pemandangan keberbagai penjuru sangat indah.  Barisan bukit watunariwowo dan dibelakangnya ada  gunung Inerie sangat jelas diarah selatan. Ke arah timur dan utara juga masih sejauh mata memandang terbentang hamparan savana yang menguning.
Langkah kaki terus mengayuh kearah barat. Semakin menurun.  Jalur ini melewati semak semak yang banyak ditumbuhi gelagah dan anggur hutan berduri. Menunduk, duduk ataupun jongkok melewati jalur ini. Kadang jatuh tergulingpun tidak bisa dihindari. Juga duri tertinggal dalam dagingpun tak mampu ditolak.
Dari sinilah perjalanan mulai berat. Medan perang melawan diri sendiri. Kembali pulang sudah terlalu jauh,  maju terus sudah lelah juga gugup melihat jalur didepannya. Menurun dengan kemiringan hampir 180 derajad. Peralatan perang kami apa adanya. Tanpa tali dan lainnya. Yang diandalkan hanyalah kaki, tangan dan hati yang besar.

Sudah melewati jalan turun cukup jauh, tapi kadang diarahkan untuk kembali karena didepannya jalan buntu. Ingin marah tapi bingung pada siapa, karena ini adalah pilihan. Tanpa ada yang memaksa.
Usai sudah melewati jalan turun dengan pijakan pada tanah yang rapuh juga bebatuan rapuh yang sewaktu waktu jatuh berhamburan bisa melukai orang di depanmu. Tangan berkeringat menggenggam erat tumpukan akar alang-alang. Telapak tergores itu pasti. Darah mengalir keluar itu juga wajib. Tapi itu menjadi titik fokus yang kesekian dibelakang.
Semakin mendekati sungai,  jalur memasuki hutan dengan banyak akar bergantungan.  Kadang harus membuang diri kedepan untuk bisa memeluk pohon ataupun meloncat untuk menggapai pohon yang lainnya. Sepatu dimasukan dalam tas. Sandal berpindah di lengan. Butuh pijakan yang pas. Gaya sudah sedikit mirip monyet.  Lebih sigap dan lebih teliti. Baju yang dipakai berlubang disobek dahan kayu. Beberapa kali terjepit diantara ranting kayu sehingga beberapa bagian baju dan celana menjadi tidak utuh.

 Jika tak ada pohon ataupun akar,  tim pria dengan tulus hati saling merentangkan tangan bak tali untuk menjaga tim lain yang gugup ketinggian agar tidak jatuh. Bayangan bahaya  menggantung didepan mata. Kalau salah pijakan, berarti berita duka siap dikirim. Evakuasipun akan sangat sulit. Bayang bayang kematian mengambang. Hanya doa tulus terucap dalam hati.

Bunyi gemuruh air terjun Soa ne Wua sangat jelas terdengar. Namun kami tak kunjung tiba.  Dua jam berputar putar dengan jalur yang tak pasti. Lapar, lelah bercampur aduk dengan rasa bosan juga khawatir.
Pukul empat sore, kami tiba di dekat aliran sungai.  Wajah wajah penuh amarah tergambar jelas namun suara yang ditampilkan penuh kelembutan.
Di depan kami,  gemuruh air jatuh sangat dasyat.  Air terjun ini namanya soa ne Wua. Tingginya diperkirakan ratusan meter. Tidak seperti air tejun lainnya yang jatuh dengan bebas. Air terjun ini jatuhnya mengikuti pahatan dinding batu menyerupai pipa.  Dan kolamnya berbentuk persegi panjang dengan hijau menjadi warna dasarnya. Tidak ada tempat yang layak untuk dijadikan spot foto untuk melihat keseluruhan air terjun ini. Ektra ekstrim. Suasana terasa mencekam.  Suara burung yang jarang terdengar.  Tempat ini hampir pasti belum pernah dikunjungi manusia. Dan kami menjadi orang pertama.

Benar benar indah. Namun harus dikaji lebih dalam untuk dijadikan tempat wisata.  Ataupun kamu yang membaca tulisan ini ataupun melihat foto tentang lokasi ini, saya sarankan untuk jangan dulu datang kesini sampai ada informasi dari dinspar ataupun pokdarwis setempat bahwa bisa dikunjungi.
Perasaan jenuh dan ingin segera tiba di Lekolodo sudah sangat besar.  Tim kami yang berjumlah 19 orang ini bergegas pulang melewati satu satunya jalur yang bisa dilalui. Modal nekat.  Semua anggota tubuh dimaksimalkan. Meraih apa saja yang ada didepan dan menggenggam apa saja yang bisa digenggam. Jalur ini melewati banyak akar kayu. Sesekali batu pijakan yang rapuh jatuh bebas. Ada yang membentur tim kami yang berjalan kemudian. Ini resiko yang tidak bisa dihindari.
Setelah keluar dari hutan yang banyak akar,  sebuah tebing tinggi tanpa pohon dihadapan kami. Tak ada jalur alternatif. Kami harus melewatinya. Ingin rasanya menangis sekuat tenaga dan memukul siapapun didepan. Tapi itu nyatanya akan sia sia. Kami harus melewati ini. Om Hubert berada diposisi paling depan. Pak David ( kades LG)  berada kemudian menunggu pak Baslius dan pak Arnol yang berjalan pelan. Pak Heri dan beberapa lainnya terlepas dari tim kami. Saya salah satunya yang sangat takut. Keringat karena panas dan gugup menyatu. Bayang bayang akan jatuh terguling bebas seperti batu terlintas sepanjang waktu.  Di depan saya ada Sil, kemudian Yeri, Novi ,Egen, San dan om Huber. Belakang saya ada Fan, Megi, Pedro, Erwin dan Lorens. Sepatu milik Sil didepan menjadi titik fokus saya. Pandangan saya tidak sedikitpun beralih dari kami dan sepatu milik Sil. Saya ngeri melihat kebelakang. Sesekali saya berteriak meminta bantuan.
Tidak hanya untuk menarik dan mendorong  tapi juga untuk jangan berada terlalu jauh. Saya menangkap banyak suara keluhan dari depan maupun dibelakang. Jalur ini hanya butuh waktu 13 menit tapi karena berada dikemiringan yang brutal serasa berjam jam.

Perasaan bahagia seketika menguasai kami semua, ketika mendengar suara om Huber berteriak dari puncak bukit sambil menunjukan arah persawahan.
"Itu sawah didepan kita"
Kalimat ini sangat ajaib. Mampu mengubah perasaan kami.
Dan benar adanya.
Dipuncak kami melihat hamparan sawah berada persis disebelah bukit. Melihat sawah berarti melihat kehidupan baru.  Beberapa diantara kami langsung menuruni lereng bukit untuk segera sampai di pondok dekat sawah.
Di puncak inilah salah satu spot foto yang paling indah. Pemandangan matahari terbenam diantara bukit yang membelah sungai yang mengalirkan air menuju Aimere ini sangat disarankan untuk para pencinta Sunset.
Perasaan takut dan marah hilang seketika saat duduk dipuncak bukit ini. Hanya ada perasaan damai dan bahagia. Bahagia karena merasa masih dicintai Tuhan.
Jalur ini mudah ditempuh dari kompleks pemukiman warga di desa Langagedha 1 - Wolokoro. Butuh waktu satu jam untuk sampai disini. Namun tidak disarankan untuk melalui jalur yang kami tempuh.
Usai mengabadikan gambar, kami menyusul tim lainnya yang sudah berada di sekitar persawahan.
Jeruh asam menjadi buah penahan lapar satu satunya yang kami jumpai disitu.

Dikejauhan tebing, suara monyet berteriak seolah ingin mengusir kami.
Hari sudah mulai gelap, kami bergerak kembali usai  tim berkumpul lengkap. Kali ini jalurnya sudah ada, karena melewati jalan para petani. Bapak dan ibu dari Dinas pariwisata Ngada menanti kami di batas kampung dengan perasaan lega. Lega karena khawatir ada tim yang kurang. Karena prediksi lama tempuh awalnya tiga jam namun kami mengakhirinya dengan delapan jam.
Terimakasih untuk survey ini.  Terimakasih untuk pengalaman ini.
Makan malam menjadi dua kali menggantikan makan siang yang terlewatkan.


Langagedha - Wolokoro
18 Oktober 2019

Salam hangat
Mertin Lusi



Air Terjun Jembatan Batu itu ada di Were

 Langit biru tanpa sebercak awan putih.  Matahari mulai condong ke barat namun hawa panas seperti layaknya berada di Aimere. Padahal kaki kami berpijak di Langa.
Hanya beberapa menit berdiskusi, 3 lelaki usia pas kawin ini memutuskan untuk mengunjungi lokasi wisata air terjun yang sempat mereka lihat di grup medsos. Postingan orang tak dikenal,sebuah gambar Air Terjun dengan jembatan batu tanpa editan.  Asli.  Postingan itu hanya menyebutkan nama desa dimana gambar itu diambil. Desa Were 1- Kecamatan Golewa Tengah - Ngada.  Itu beberapa bulan yang lalu.


Tanpa kompromi, mereka menyeret saya untuk bergabung dalam tim dadakan ini.  Tanpa bekal. Bermodalkan Nekat, dan penasaran. Kami berempat ( Mertin, Fan, Ivan dan Wili) melaju dengan sepeda motor dengan perasaan tak sabar segera tiba.
Masuk wilayah Mataloko,  kabut tebal menyambut kami dari kejauhan.  Perasaan berubah seketika.  Antara ingin melanjutkan atau balik pulang. Konon, para leluhur sangat percaya kalau awan turun ke bumi pertanda ada jiwa jiwa yang lainnya juga turut serta, sehingga mahluk apapun yang bisa bernafas yang berjumpa langsung pasti hidupnya tidak akan lama. Dan keyakinan itu diturunkan lurus kepada kami.

Kali ini,  kami berusaha mematahkan itu dengan harapan awan tidak ada disekitar lokasi tujuan.
Beberapa kali,  kami berhenti sejenak menanyakan alamat kepada orang yang dijumpai di jalan.  Alamat yang diberikan bukan alamat palsu.  Orang -orang disana dan Ngada umumnya masih memiliki hati yang sempurna.  Tulus itu nampak dari senyuman mereka.
Di ujung jalan dusun Woewali, kami disambut beberapa warga dengan sangat ramah.  Bergantian mereka menjelaskan tentang lokasi dan jalur tempuh.
"Harus ada anak anak disini yang antar kalian,  jangan pergi sendiri e"
Kalimat ini selalu sama dari setiap mereka.
Ada rasa haru dalam hati. Diperlakukan dengan tulus tanpa memandang siapa kami.
Langit diatas desa Were I ini nampak bersih dan cerah,  ini sinyal dari alam bahwa kami diijinkan untuk sampai ke lokasi tujuan.

Setelah berkompromi, tim kami bertambah menjadi 9 orang.  Saya satu satunya perempuan di tim ini.  Kami ditemani 4 anak usia SMP dan juga Son Bao pemuda asli dusun Woewali. Dusun yang wilayahnya mencakup lokasi air terjuna tujuan kami.
Hampir sama dengan jalur -jalur biasanya yang menuju air terjun yang pernah kami tempuh.  Pasti menurun menyusuri lereng tebing dan sesekali melintasi jalur aliran air.
Jalur kali ini,  tidak semudah menuju Air Terjun Ogi,  dan tidak seekstrim menuju Air Terjun Ngabatata di Nagekeo juga Sembilan air terjun di Langa.
Waktu tempuh dari kompleks rumah warga hanya 10 menit jalan santai sambil bercerita. Dan menurun sekitar lima menit melewati kebun kacang dan wortel milik warga dusun setempat. Dan dalam perjalanan kurang lebih 15 menit ini,  kita sudah langsung bisa mendengar suara gemuruh air yang jatuh menabrak bebatuan.
Dalam bahasa daerah Bajawa Air terjun =Soa.
Di perhentian pertama,  kita akan disuguhi pemandangan indah Soa Soro.  Dengan ketinggian kurang lebih 80 meter. Disekitar air terjun ini tumbuh banyak bunga anggrek berwarna ungu. Ada yang menempel di bebatuan, juga bergantungan di pohon. Perjalanan kami lanjutkan dengan menyusuri jalur air dari Soa Soro ke arah timur.
Jalur ini punya sensasi loncat indah,  kalau seandainya kaki dipasang dengan alat bantu loncat vertikal.  Namun tidak disarankan untuk dimusim hujan, karena permukaan batu lebih licin dari biasanya.
 Mata juga harus lebih jeli melihat batu yang akan menjadi pijakan kaki.  Bila tidak, pengalaman saya akan kamu ulangi.  Saya sempat kehilangan kendali saat akan melewati sebuah batu besar nan tinggi.  Dalam hati,  saya sangat yakin bisa melompatinya namun ternyata kurang beberapa sentimeter saja. Tentu bisa dibayangkan kan... 😃.
Belok kiri, belok kanan. Awas lubang,loncat sedikit,  rentangkan tangan untuk keseimbangan. Sesekali niat untuk menceburkan diri dalam air itu sangat tinggi. Air sangat jernih,tanpa sampah plastik mengalir dengan bebasnya.
Sekitar 10 menit,  kami menjumpai air terjun kedua namanya Soa Wawi.  Tingginya sekitar 7 meter dan direkomendasikan sebagai tempat mandi. Kolam alamiahnya membentuk lingkaran dengan warna hijau menyelimuti dinding batu.
Dan dari Soa Wawi,  sejauh lemparan batu orang dewasa kami diberitahu kalau itu lokasi air terjun Padha Watu. Kamipun bergegas kesana menyusuri jalur air mengalir.
Jalur ini tidak kalah menarik juga. Kami harus melewati sebuah terowongan selebar tubuh pria dewasa.  Terowongan ini bersambungan langsung dengan mata air Soa Padha Watu.
Padha Watu= Jembatan Batu
Soa Padha Watu ini tingginya hanya sekitar 5 meter namun mengalir membentuk beberapa tingkatan dan didepannya terbentang jembatan batu alamiah.
Batu ini tersabung dari kedua sisi membentuk sebuah jembatan kecil. Dibagian bawahnya terdapat rongga yang menjadi tempat menempelnya sarang burung. Dan bagian depannya sebuah kolam kecil berbentuk lingkaran sangat cocok untuk jadi tempat pemandian.
Setelah mengambil gambar dan istirahat sejenak,  kamipun kembali pulang.

Sambil menyeruput kopi Son yang juga Ketua Orang Muda Katolik Paroki Keluarga Kudus Nazaret Were ini, bercerita kalau pihaknya bersama orang muda dan warga dusun setempat telah berencana untuk mengembangkan potensi yang ada. Namun butuh banyak dukungan dari semua pihak untuk bisa merealisasikannya.

Tenyata setelah air Terjun Padha Watu ini,  masih ada air terjun lainnya yang tidak kalah indah dengan jalur berupa tangga batu alamiah. Konon,  tangga itu dibuat oleh seorang raksasa bernama Dhake.  Dan sebelum mata air terjun Soa Soro, ada juga air terjun yang namanya Roba me Dhake. Atau air terjun ini dinamai karena Dhake pernah jatuh ditempat itu.
Saya jadi ingat,  kalau di kampung Bena itu ada legenda tentang Dhake dan juga masih ada jejak kaki dari Raksasa yang bernama Dhake ini.
Sepertinya banyak hal yang saling berkaitan namun cukup rumit untuk dibedah.
PR besar bagi saya dan kita semua.
Tima tii woso Son,  semoga ada banyak pihak yang punya hati tergerak untuk sama sama memikirkan niat baikmu dan warga dusun Woewali.
Tima tii woso untuk Os, Orin,  bapak, mama dan teman teman orang muda di Woewali.
Terimakasih semesta...
Isi Langa Loza ge Rapa Ngeda.

Salam hormat,
Mertin









Perlukah Memberhentikan pembangun Jalan Trans Di Bumi Papua

  Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat...