Dua Hari Bersama Mahasiswa Dragons Amerika: Belajar, Berbagi, dan Menjaga Alam di Lengkosambi Utara

 


Dua hari ( 27-28/10/2025) di Desa Lengkosambi Utara menjadi pengalaman yang tak sekadar kunjungan. Kamera boleh saja merekam momen, tetapi hati setiap orang yang hadir menyimpan kenangan yang jauh lebih lengkap. Mahasiswa Dragons dari Amerika datang bukan hanya untuk melihat, tetapi untuk belajar, berbagi dan menyatu dengan kehidupan masyarakat pesisir Flores dan penuh cerita. 



Di bawah teduhnya rumah adat Ca’o Sapulikang para mahasiswa duduk bersila bersama ibu-ibu desa dan tentu didampingi oleh sang Nahkoda Lengkosambi Utara Hans Tonda yang akhir-akhir ini giat mengusahakan kemandirian ekonomi bagi warganya. 

Di tangan mereka, daun gebang dan lontar yang lembut berubah menjadi karya. Dalam genggaman para perempuan yang ahli, lahirlah kombu, bere, topi, kipas, dan aneka anyaman lain yang sarat tradisi. Para mahasiswa memandangi setiap gerakan dan perlahan mereka mencoba, tertawa saat daun patah atau bentuknya tak beraturan. Namun seperti kata para ibu,” yang penting sabar dan hati senang”



Sore itu berakhir dengan suguhan sederhana namun penuh cinta. Singkong rebus, sambal siput bibir merah, ikan bakar, dan  ikan teri  khas Riung gurihnya menempel lama di lidah. Keakraban pun tumbuh tanpa perlu banyak bahasa, senyum sudah cukup menjadi penerjemah.



Menjelang senja, langkah membawa rombongan ke pantai Watulajar. Pasir putih menjadi lapangan voli, dan laut adalah penonton setia. Mahasiswa Dragons bermain bahu - membahu dengan pemuda desa dan terbentuklah tim Indonesia melawan tim Amerika, tawa pecah setiap bola terlewat, setiap lompatan gagal menggapai. Sederhana, spontan, tetapi kehangatannya justru membuat semua merasa seperti keluarga yang lama tak bertemu. 



Di malam harinya, bersama beberapa pemuda mereka mencari kepiting darat untuk jadi menu santap malam. Ini sungguh pengalaman yang indah.

Keesokan paginya, kegiatan berlanjut dengan misi yang lebih besar yakni konservasi pantai Watulajar.  Bersama bapak-bapak dan ibu-ibu desa, mereka menanam sekitar 50 anakan mangrove di sepanjang garis pantai. Tangan yang kemarin memegang daun anyaman, kini menancapkan akar-akar kecil yang kelak akan menjaga desa dari abrasi dan menjadi rumah baru bagi biota laut.



Tak ada pidato panjang, hanya kerja senyap yang penuh makna. Lumpur menempel di kaki dan baju, namun senyum tak lepas dari wajah peserta. Karena setiap bibit yang tertanam bukan sekadar pohon melainkan harapan untuk masa depan pesisir Lengkosambi yang lebih hijau, lebih kuat dan lebih hidup. Dua hari terasa singkat, tetapi jejaknya panjang. Mahasiswa Dragons pulang membawa pelajaran bahwa kearifan lokal adalah universitas terbaik, dan masyarakat Lengkosambi Utara membuktikan bahwa keramahan adalah jembatan paling indah antara dua budaya.



Anyaman, makanan sederhana, voli di pasir, dan mangrove kecil yang baru ditanam,semua menjadi kisah tentang persahabatan, budaya dan cinta pada alam.

Para siswa inipun melanjutkan tiga hari camping dan menikmati keindahan alam bawah laut di pulau Rutong, Tembang, Tiga dan Dua juga tidak lupa mengunjungi ribuan Kelelawar di pulau Ontoloe. 



Terimakasih bapak desa dan seluruh masyarakat untuk keramahan dan banyak kenangan yang tak terlupakan. 

Watulajar,

Mertin Lusi

Dalam pelukan Sawu, Perjalanan Kemanusiaan dan Harapan di tengah Duka


Awal September 2025 lalu membawa luka bagi banyak saudara kita di wilayah Mauponggo, terutama di kampung Sawu. Banjir bandang yang menerjang tak hanya merusak rumah-rumah dan fasilitas umum, tapi juga merenggut harapan, bahkan kehidupan. Salah satu dari mereka yang belum kembali hingga kini adalah Nano sahabat kami. Namun dalam setiap luka, selalu ada ruang untuk kasih dan pengharapan. Dan itulah yang membawa kami lima orang dari Bajawa melangkah ke Sawu.

         Bersama Oma Achiles dan ine Rosi sekeluarga


Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya. Tim kami biasanya dalam personil yang lengkap namun kali ini semua sudah berusaha maksimal tapi tetap tidak lengkap sehingga tetap ada rasa yang kurang. Hanya Mertin, Ayu, Cen, Iwan, dan Eka. Namun Tuhan menambahkan dua pribadi luar biasa ke dalam rombongan kecil ini: Ruth dan adiknya Doni, saudara kami dari Mundemi yang dengan sukarela bergabung meskipun menempuh jalur memutar dan terjebak hujan beberapa kali. Bersama-sama, kami mengemban satu misi: mengantar donasi yang telah dipercayakan oleh para dermawan kepada mereka yang terdampak.

        Anak-anak dengan kesederhanaan yang penuh makna


Sawu menyambut kami dengan keheningan yang berbeda. Di balik reruntuhan dan lumpur yang mulai mengering, ada senyum, ada pelukan hangat, ada air mata yang tertahan. Untuk pertama kalinya, kami bertemu Rosi dan Oma Achiles-keluarga Nano yang kini menanti dalam doa dan pengharapan. Malam itu, kami bermalam di rumah mereka, menyatu dalam suasana duka, namun juga dalam kehangatan kasih keluarga.

        Bertemu keluarga korban yang meninggal sekeluarga


Usai makan malam, seluruh umat kampung berkumpul. Kami berdoa rosario bersama di bawah langit malam yang kelam namun penuh harap. Setelahnya, kami memutar film The Miracle of Our Lady Mariam, mencoba menghibur hati yang luka dengan kisah tentang iman dan keajaiban.

         Malam Doa Rosario bersama umat dan Nobar Film


Pagi berikutnya, udara sejuk mengantar langkah kami menuju gereja untuk mengikuti misa pukul enam pagi. Kami menumpang Bus Elisabet yang secara sukarela menjemput, menunggu umat dari kampung Sawu untuk pergi dan pulang gereja Wolosambi. Ada keheningan di antara kami, namun bukan karena kehilangan arah, melainkan karena meresapi makna hadir di tengah mereka yang sedang berjuang bangkit. Seusai misa, bersama Bapak Ketua Stasi yang sering disapa bapak Kodi, kami mengelilingi rumah-rumah warga, membagikan oleh-oleh dan donasi dari para donatur yang menitipkan harapan melalui kami. Tiap senyuman, tiap pelukan, menjadi pengingat bahwa kehadiran kita- sekecil apa pun-berarti.

   3 laki-laki luar biasa yang siap mengangkut berat 1,5 ton 


Tak berhenti di sana, kami juga meluangkan waktu untuk bermain bersama sekitar 50 anak-anak. Gelak tawa mereka mengisi celah-celah duka yang sempat mencuat. Di antara nyanyian sederhana, ada semangat yang tak bisa dipadamkan. Semangat untuk terus hidup, tertawa, dan berharap.

              Bersama anak-anak di halaman rumah Nano 


Waktu yang tersisa kami habiskan bersama Rosi, Oma Achiles, dan keluarga. Mereka menyimpan rindu, kehilangan, dan air mata. Tapi mereka juga memancarkan kekuatan yang luar biasa. Senyum hangat mereka, candaan kecil di tengah obrolan, dan keteguhan hati mereka menjadi pelajaran penting bagi kami bahwa kehilangan tidak selalu membuat seseorang hancur. Kadang, kehilangan justru memperkuat ikatan kasih dan menyalakan kembali nyala iman.

                       Malam pertama tiba dirumah Nano


Kami pulang dari kampung Sawu bukan hanya dengan tubuh yang lelah, tapi dengan hati yang penuh. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan mengantar donasi. Ini adalah perjalanan untuk belajar tentang kemanusiaan, tentang harapan, dan tentang bagaimana duka pun bisa menjadi lahan subur bagi kasih untuk tumbuh.

                            Bersama mama Telin & bapak Ifan


Mauponggo dengan segala dukanya, telah menjadi tempat kami belajar bahwa dalam kehilangan, masih ada senyum. Dalam kegelapan, masih ada cahaya. Dan dalam luka, selalu ada cinta.



Terimakasih Oma Achiles, ine Rosi dan seluruh keluarga juga bapak mama dan adik-adik di kampung Sawu yang telah menerima kami dengan sukacita ditengah dukacita. Kami mencintaimu semua 🫂❤️





Mertin Lusi

11-12 Oktober 2025

Dua Hari Bersama Mahasiswa Dragons Amerika: Belajar, Berbagi, dan Menjaga Alam di Lengkosambi Utara

  Dua hari ( 27-28/10/2025) di Desa Lengkosambi Utara menjadi pengalaman yang tak sekadar kunjungan. Kamera boleh saja merekam momen, tetapi...