Jalan Trans Papua adalah jaringan jalan nasional yang menghubungkan setiap provinsi di Papua, membentang dari Kota Sorong di Papua Barat Daya hingga Merauke di Papua Selatan, dengan total panjang mencapai 4.330,07 kilometer (km). Total panjang tersebut terbagi atas 3.259,45 km di Provinsi papua - Provinsi Papua Tengah - Provinsi Papua Pegunungan - Provinsi Papua Selatan dan 1.070,62 km di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya. Jalan Trans-Papua memiliki arti penting sebagai infrastruktur penghubung antara daerah-daerah di kedua provinsi tersebut, termasuk yang terisolasi. Beberapa sumber menyebut pembangunan Jalan Trans-Papua sudah dimulai sejak era pemerintahan Presiden Soeharto, dengan nama Jalan Trans Irian Jaya. Proyek yang dimulai akhir 1980 tersebut dibagi dalam tiga jalur, yakni Nabire-Ilaga, Jayapura-Oksibil dan Merauke-Digul via Bupul. Namun sumber lain menyatakan bahwa jalan ini baru dimulai sejak era pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan diteruskan hingga saat ini.
Pembangunan infrastruktur di Papua menjadi fokus pemerintahan didasari atas tujuan yakni untuk menciptakan keadilan, mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesenjangan antarwilayah, serta mengurangi tingginya harga di masing-masing wilayah.
Selain itu, Papua merupakan wilayah terluas di Indonesia. Luasnya sebanding dengan 22 persen keseluruhan luas wilayah Indonesia. Pulau ini menjadi salah satu dari lima pulau terbesar di dunia. Menurut buku Ekologi Papua (Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International), luas wilayah Papua merupakan pulau yang sangat mendukung hutan rimba tropis tua terluas yang masih ada di Asia Pasifik. Di bagian paling barat, Papua didominasi oleh jajaran pegunungan kecil, seperti Kepala Burung, Wandamen, Fakfak, dan Kumawa serta kepulauan seperti Raja Ampat, dan Teluk Cenderawasih. Dalam banyak hal, Papua mirip dengan daratan Papua Nugini (PNG) tetapi gunung-gunungnya lebih tinggi (mencapai garis salju), dan rawa-rawanya lebih luas (contohnya, Mamberamo, Asmat). Sebagian besar wilayah Papua ditutupi hutan alam, lahan gambut, dan ekosistem lain yang merupakan “lahan pertahanan terakhir”. Menurut para ilmuwan, wilayah ini merupakan rumah bagi banyak spesies yang belum teridentifikasi. Di antara lebih dari 17.000 pulau, tanah Papua berkontribusi sebagai “rumah” bagi biodiversitas. Wilayah Papua juga meliputi lebih dari sepertiga hutan alam yang tersisa di Indonesia. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Papua adalah salah satu pulau yang memiliki hutan hujan tropis terluas dibandingkan daerah lain di Indonesia, termasuk Sumatera dan Kalimantan. Dengan luas hutan sekira 33 juta hektare, bumi Papua diberkahi keanekaragaman hayati yang sangat beragam. Keanekaragaman keanekaragaman hayati tersebut dapat dijumpai di berbagai tipe ekosistem mulai dari terumbu karang, daerah estuari, rawa, danau, daerah savana, dataran rendah, dataran tinggi sampai ke daerah alphin.
Keanekaragaman hayati di Papua juga tergolong unik karena termasuk kelompok subdivisi timur dari pembagian flora fauna Indo-Malesia dan flora fauna Australis yang sangat kaya. Keanekaragaman hayati Papua adalah setengah dari total jumlah keanekaragaman hayati Indonesia, secara khusus flora dan fauna endemik yang hanya dijumpai di tanah Papua. Banyak flora dan fauna di Papua yang tidak bisa dijumpai di tempat lain di dunia. Flora dan fauna di dataran rendah Papua umumnya mirip dengan flora dan fauna di Asia Tenggara (khusus flora) dan Australia (khusus fauna). Sedangkan, flora dan fauna di dataran tinggi Papua tergolong unik dan beraneka ragam akibat keterisolasiannya.
Pembangunan jalan Trans Papua menjadi hal yang positif diantaranya berkembangny berbagai aktivitas ekonomi baru seperti pemukiman, perkebunan, pertanian dan lain sebagainya, sehingga dapat meratakan ekonomi karena terbukanya akses-akses menuju seluruh wilayah. Kehadiran jalan Trans-Papua dinilai sangat menguntungkan karena bisa memangkas waktu distribusi barang dan membuat harga bahan menjadi lebih terjangkau. Pembangunan jalan dan jembatan selain berdampak pada sektor ekonomi, juga berdampak pada sektor pendidikan dan kesehatan, Pendidikan yang dirasakan oleh masyarakat Papua yakni hadirnya tenaga pengajar lebih banyak dan tenaga kesehatan yang turut aktif membangun pendidikan sumber daya manusia serta menjaga kesehatan masyarakat Papua.
Meskipun bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membuka akses jalan antar daerah, pembangunan Jalan Trans-Papua menuai perdebatan antar masyarakat.
Perlu disadari bahwa pembangunan jalan Trans-Papua cukup mengganggu sumber penghidupan dan meningkatkan komersialisasi pemanfaatan hasil alam masyarakat adat. Dari segi kelestarian lingkungan, jalan Trans-Papua memberikan dampak yang tidak baik terhadap ekosistem hutan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memprediksi pembangunan jangka panjang proyek Jalan Trans-Papua dapat memusnahkan 12.469 hektare tutupan hutan atau sekitar tiga kali daripada kota Yogyakarta.
Sementara 4.772 hektare lahan yang terancam merupakan hutan lindung.
Hilangnya tutupan hutan dan hutan lindung berdampak pada terancamnya keberadaan flora dan fauna yang dilindungi, seperti Anggrek Kasut Ungu dan Kanguru, Pohon Mbaiso yang merupakan makhluk hidup endemik di beberapa area hutang di sekitar jalan Trans-Papua.
Atas dampak yang telah terjadi dan diprediksi akan bertambah buruk, WALHI menyarankan pemerintah untuk membangun jalan yang ramah terhadap lingkungan dengan merujuk pada penelitian dan refrensi yang terpercaya. Selain itu WALHI juga berpesan agar dibuatkannya peraturan daerah atau keputusan gubernur atau bupati/walikota terkait perlindungan serta pengakuan wilayah kelola adat dan masyarakat adat. Memang dengan adanya jalan trans ini masyarakat Papua sangat dipermudah dalam segala hal namun saya sebagai warga Papua yang sedang melanjutkan pendidikan diluar Papua mengajak kita semua warga Papua untuk menyadari bahwa dengan adanya jalan trans tersebut membuat hutan Papua menjadi rusak, semakin punahnya fauna dan flora, suara burung Cendrawasih yang begitu merdu sudah perlahan lenyap, adat istiadat kita akan perlahan hilang karena hutan tempat berburu sudah menjadi jalanan ramai.
Oleh sebab itu, kita sebagai Masyarakat papua harusnya menyuarakan untuk memberhentikan jalan trans papua yang terjadi di bumi papua karena itu sangat merusak hutan serta tanah leluhur yang kita warisi. Jika mereka gusur semua habis-habisan maka kita sendirilah yang akan jadi bingung karena kita tidak memiliki tempat untuk bangun rumah, untuk berkebun, berburu dan sebagainya. Maka seharusnya masyarakat Papua harus berpikir yang luas terhadap hutan dan menolak untuk pembangunan jalan trans di bumi papua demi kepentingan kita sendiri.
****
Penulis
Theofilus Iyai
Asal Nabire - Papua Tengah
Saat ini sedang mengenyam pendidikan di Seminari KPA St. Paulus Mataloko